WordPress.com



Tugas Essay Kelompok

ANTI PLATELET & ANTIKOAGULAN TERAPI PADA STEMI

Fasilitator Ns. Tony Suharsono, M.Kep

Disusun oleh

Anita Dwi Ariyani (126070300111006)

Vita Maryah A. (126070300111013)

Lina Handayani (126070300111022)

Normi Parida S (126070300111031)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2013

Miocardiac Infark (MCI) akut dan juga akibat yang ditimbulkannya yaitu seperti kematian jantung kronis, penyakit jantung iskemik, dan gagal jantung masih tetap pada posisinya dan menempati urutan pertama yang menyebabkan kematian dan penyakit kardiovaskular di belahan dunia Eropa termasuk Jerman. Dan dalam hal ini STEMI merupakan salah satu yang paling beresiko tinggi. Yang diawali dengan pasien yang membutuhkan tindakan darurat atau emergency yang merupakan penentu antara hidup dan mati (Silber, S, 2010).

Hasil pada pasien dengan elevasi ST miokard infark (STEMI) telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir disebabkan oleh bentuk peningkatan kesadaran akan penyakit, kecepatan diagnosis, dan institusi baik reperfusi dan bantuan terapi medis. Setiap tahun terapi baru dikembangkan dan terapi yang ada dimodifikasi untuk meningkatkan hasil pada pasien tersebut. Banyak dari terapi ini memiliki manfaat yang luar biasa, serta gejala sisa potensi yang signifikan, ketika diberikan dengan tepat.

ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.

Bergabai upaya harus dilakukan untuk menjaga interval waktu antara timbulnya gejala dan juga awal terapi reperfusi sesingkat mungkin yaitu yang terbaik dalam penanganan STEMI. Dua dari interval waktu sangat penting yaitu penundaan waktu (time delay) antara timbulnya gejala dan kontak medis pertama (Fist Medical Contact: FMC) dan waktu tunda antara FMC dan awal reperfusi. Keterlambatan waktu antara timbulnya gejala dan FMC tergantung pada pasien serta EMS (Emergeny Medical Sevice). Namun pada kenyataannya masih banyak pasien dan masyarakat yang masih ragu untuk segera memeanggil EMS. (Silber,S, 2010).

Time is musclemerupakan semboyan dalam penanganan STEMI, artinya semakin cepat tindakan maka kerusakan otot jantung semakin minimal sehingga fungsi jantung kelak dapat dipertahankan. Terapi STEMI hanyalah reperfui, yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik). Namun yang menjadi masalah adalah apakah PCI dapat dilakukan dalam 2 jam setelah FMC, jika tidak maka trombolisis harus dilakukan dalam waktu 30 menit setelah FMC, baik dalam ambulance EMS ataupun di RS yang non-PCI.

Meskipun terapi trombolisis berhasil dilakukan, hal tersebut bukanlah terapi akhir: dalam waktu 24 jam (tapi tidak sebelum 3 jam). Kateterisasi jantung harus tetap dilakukan dengan PCI apabila memungkinkan. Pengobatan pertama yaitu bertujuan untuk terapi antiplatelet ganda (Dual Antiplatelet Therapy: DAPT) dan antikoagulan. Pengobatan STEMI membutuhkan kombinasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Hal ini merupakan pencegahan peningkatan yang jauh lebih lanjut pada trombus koroner. Dalam memaksimalkan kombinasi antitrombotik tersebut maka terapi harus seimbang pada individu dengan resiko perdarahan iskemik (Divchev, D, 2011). Sehingga dalam essay ini akan dibahas mengenai manajemen STEMI dengan menggunakan terapi obat-obatan terutama dengan menggunakan antiplatelet dan antikoagulan.

Sindroma koroner akut merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK). Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia. ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Strategi pengobatan STEMI sangat berkaitan dengan masa awitan (time onset) dan memerlukan pendekatan yang berbeda di masing-masing senter pelayanan kardiovaskular demi mendapatkan tatalaksana yang tepat, cepat dan agresif (Firdaus, 2011).

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Farissa, 2006).

Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi:

1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.

2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

IMA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2011).

Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori. Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus (Farissa, 2006).

Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Farissa, 2006).

Patofisiologi pada infark miokard dengan ST elevasi terjadi oklusi di arteri koroner yang mendadak akibar thrombus. Akibatnya daerah miokard yang didarahi oleh pembuluh tadi akan mengalami iskemia, sehingga menimbulkan nyeri dada dan perubahan EKG. Nekrosis kemudian akan terjadi mulai di daerah endokardial sampai ke permukaan epikardial. Proses ini jika berlangsung terus akan menimbulkan infark transmural. Percobaan pada binatang menunjukkan hubungan yang kuat antara lamanya oklusi dengan luasnya nekrosis. Kematian sel dimulai setelah 20 menit oklusi dan mencapai puncaknya setelah 6 jam. Proses ini dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor seperti ada atau tidaknya reperfusi intermiten, kolateral dan iskemia prekondisioning. Mortalitas dan morbiditas tergantung pada luasnya daerah infark, sehingga semakin cepat pemulihan aliran darah arteri koroner maka diharapkan akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan harapan hidup penderita (Firman, 2010).

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Farissa, 2006).

Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis (Farissa, 2006). Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Farissa, 2006).

Menurut Daga, Et al (2011), diagnosa awal yang merupakan kunci dalam pengobatan awal dari STEMI. Riwayat nyeri dada atau ketidaknyamanan yang berlangsung 10-20 menit yang dirasakan oleh pasien harus meningkatkan kecurigaan terhadap STEMI akut pada pasien ( pasien laki-laki paruh baya, terutama jika memiliki faktor resiko penyakit koroner. Diagnosa STEMI ditegakkan berdasarkan berikut ini :

1) Nyeri dada

2) Perubahan hasil pemeriksaan ECG atau didapatkan gelombang LBBB baru

3) Peningkatan hasil biomarker.

Pasien STEMI dapat mengalami berbagai gejala yang bervariasi dari rasa tidak nyaman pada bagian retrosternal atau nyeri dada pada sisi bagian kiri/ ketidaknyamanan terkait gejala khas yaitu dyspnea, serangan syncope, malaise dan sesak nafas (nafas tersengal-sengal). Penderita lansia, diabetes maupun pasien dengan pengobatan NSAID kemungkinan menderita silent infark miokard. Para pasien ini umumnya ditemukan adanya syok kardiogenik, hipotensi, aritmia dan conduction block dan kegagalan akut ventrikel kiri.

Pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.

1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

3. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH)

4. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.

5. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi (Farissa, 2006).

Tujuan penatalaksan dari STEMI adalah Reperfusi. Terapi reperfusi harus dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala dari STEMI (Heng Li, Et al, 2012). Tujuan pengobatan pasien miokard infark akut dengan STEMI (termasuk mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB) adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner. Sumbatan ini dapat mengurangi kelangsungan hidup dan performa ventrikel kiri. Reperfusi merupakan pilihan strategi utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI menunjukkan bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner perkutan (selanjutnya disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan fibrinolitik. Beberapa strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik (dengan obat-obatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI), dan stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-invasif (Firdaus, 2011).

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan (Firman, 2010).

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala 12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. Percutaneous Coronary Interventions (PCI) merupakan intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting), sedangkan terapi PCI tanpa didahului terapi trombolitik sebelumnya selama 12 jam setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI). PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit (Firman, 2010).

American College of Cardiology/American Heart Association dan European Society of Cardiology merekomendasikan dalam tata laksana pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (Farissa, 2006). ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.

1) Antiplatelet

Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Baik aspirin maupun clopidogrel harus segera diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan emergensi.

A) Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Aspirin terbukti dapat menurunkan angka kematian, mencegah reoklusi coronary dan menurunkan kejadian iskemik berulang pada pasien dengan Infark Miokard Akut. Aspirin harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai di departemen emergensi (Heng Li, Et al, 2012). Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%. Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI. Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A) sampai 325 mg (Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan enteric-coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan pemberian dosis aspirin 162 mg atau lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis antithrombotic dengan cepat hal ini disebabkan oleh produksi inhibitor total thromboxan A2. Aspirin sekarang merupakan bagian dari manajemen awal untuk seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera diberikan dan diberikan dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 – 325 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 – 162 mg. Walaupun dalam beberapa penelitian menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal (Antmal, Et al, 2013). Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit hepatic kronis (Heng Li, Et al, 2012). Analisis observasional dari studi CURE menunjukkan hasil serupa tingkat kematian kardiovaskuler, Miokard Infark maupun stroke pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (> 200 mg), dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per hari. Dimana dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan mayor meningkat secara signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin dosis tinggi (Heng Li, Et al, 2012). Walaupun begitu, agen antiplatelet lain juga direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan STEMI jika pasien menunjukkan alergi atau intoleransi terhadap aspirin, dapat digantikan dengan clopidogrel (Antmal, Et al, 2013).

B) Clopidogrel

Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix; sanofi aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan thienopyridine yang dimetabolisme melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif dimetabolisme secara irreversible oleh reseptor antagonis P2Y12 (Hoekstra, 2010). Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%) (Firdaus, 2011). Sedangkan penelitian COMMIT-CCS-2 yang dilakukan di Cina pada pasien dengan Miokard Infark dengan 93 % pasien mengalami STEMI atau bundle branch block dan 54 % pasien dengan thrombolysis. Penelitian tersebut dengan menggunakan clopidogrel yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian, reinfarksi atau mencegah terjadinya stroke. CLARITY-TIMI melalui 28 penelitian, dimana clopidogrel mengurangi efikasi titik akhir primer komposit dari sumbatan arteri infark pada angiografi, menurunkan angka kematian atau mencegah terjadinya Miokard Infark berulang pada pasien STEMI yang menerima terapi trombolitik. Pengobatan dengan clopidogrel sebelum dan setelah PCI secara signifikan dapat mengurangi insiden/ kejadian kematian kardiovaskuler atau komplikasi iskemik (Heng Li, Et al, 2012). Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko perdarahan massif (Daga, Et al, 2011).

C) Obat antiplatelet baru

Inhibitor P2Y2 terbaru, pasugrel dan ticagrelor, merupakan agregrasi platelet inhibitor terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada clopidegrol untuk terapi STEMI. Penelitian TRITON-TIMI 38 trial membandingkan pasugrel dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI yang menjalani PCI. Pasugrel signifikan menurunkan primary endpoint, meliputi kematian kardiovaskuler, non fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari. Namun, pemberian pasugrel harus dihindari pada pasien dengan riwayat stroke iskemia atau transient ischemic attack, pasien dengan usia lebih dari 75 tahun dan pasien dengan berat badan kurang dari 60 kg karena analisis pada subgroup 38 percobaan TRITON TIMI tidak menemukan manfaat yang lebih besar dari pasugrel karena memiliki resiko perdarahan lebih besar pada subgroup tersebut. Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada pasien STEMI yang menjalani Primary PCI. Ticagrelor merupakan obat aktif dan tidak memerlukan transformasi metabolik. Penelitian PLATO membandingkan ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien STEMI yang sedang menjalani Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan kecenderungan dapat menurunkan primary endpoint dari kematian kardiovaskuler, Miokard infark atau stroke [hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07]. Tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara dua kelompok (Heng Li, Et al, 2012).

2) Anti Koagulan

Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya adalah mendukung terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang menjalani terapi trombolitik, antikoagulan biasanya diperlukan untuk meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.

A) Unfractionated Heparin (UFH)

Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi dengan antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap thrombin. Unfractionated Heparin (UFH) dianggap sebagai terapi anti koagulan standart untuk pengobatan pasien ST Elevasi Miokard Infark (STEMI), termasuk pasien yang diobati dengan menggunakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Menurut Guidelines from the American College of Cardiology and European Society of Cardiology merekomendasikan penggunaan UFH dengan level evidence C (Navarese,Et al, 2011). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan (Firdaus, 2011).

Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase, t-PA), pemberian intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam. Namun, peran UFH menjadi kurang penting ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal streptokinase digunakan. Karena agen tersebut membentuk sistemik koagulopati dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen antikoagulan kuat. Pada pasien yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH harus diberikan dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor digunakan). Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 – 48 jam setelah tindakan Primary PCI atau dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika sirkulasi koroner kembali dan tidak ada resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left ventricle) thrombus. Untuk pasien tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi yang optimal dengan pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan penggunaan UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien (Heng Li, Et al, 2012).

B) Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH)

Enoxaparin merupakan heparin dengan berat molekul rendah (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH) yang memiliki biovailabilitas yang bagus dan preferential aktivitas anti Xa. Pada penelitian ExTRACT-TIMI 25 trial, pasien STEMI mendapatkan terapi trombolisis dan aspirin secara random diberikan enoxaparin IV 30 mg bolus di ikuti dengan pemberian 1 mg/kg 2 kali perhari secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti dengan infus 12 IU/kg/jam selama 48 jam. Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa secara signifikan enoxaparin lebih efektif dibandingkan dengan UFH dalam penurunan primary composite endpoint of death atau reinfark selama 30 hari. Sedangkan untuk tingkat perdarahan mayor lebih sering dengan enoxaparin selama 30 hari, namun terjadinya perdarahan intracranial hampir sama penggunaan enoxaparin dengan UFH. Walaupun begitu, enoxaparin dapat digunakan sebagai alternative pengganti UFH pada pasien STEMI yang mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang dilakukan TETAMI, membandingkan enoxaparin 30 mg IV bolus, di ikuti dengan 1 mg/kg subkutan 2 kali perhari selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara enoxaparin dan UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau serangan angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama dengan UFH, enoxaparin dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan pada pasien STEMI non reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin tetapi kemudian membutuhkan tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis sub kutan terakhir adalah 8-12 jam sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8 jam sebelumnya, maka tidak diperlukan enoxaparin tambahan untuk PCI (Heng Li, Et al, 2012).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien secara meta analisis. Dari hasil pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan manfaat yang besar sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien diseluruh spectrum ACS. Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan dalam kematian non-fatal miokard infark. Sedangkan untuk clinical outcome didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan kematian atau infark miokard secara signifikan enoxaparin dengan UFH (9.8 % vs 11.4 % atau 0.84, P 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Farissa, 2012).

Perbandingan Rekomendasi Penggunaan Penyekat Beta/Beta Blocker tahun 2004 dan 2007

|2004 STEMI Guideline Recommendation |2007 STEMI Focused Update Recommendation |COMMENT |

|CLASS I |

|Terapi beta-blocker Oral seharusnya diberikan |Terapi beta-blocker Oral harus dimulai |Rekomendasi Modifikasi |

|segera untuk pasien tanpa kontraindikasi, |dalam 24 jam pertama untuk pasien yang | |

|terlepas apakah pasien diberi terapi |tidak memiliki salah satu dari berikut: 1) | |

|fibrinolitik atau PCI primer secara |tanda-tanda gagal jantung, 2) output yang | |

|bersamaan. (Level of Evidence: A) |rendah, 3) meningkatnya risiko syok | |

| |kardiogenik, atau 4) kontraindikasi relatif| |

| |lainnya terhadap blokade beta (interval PR | |

| |lebih besar dari 0,24 detik, blok jantung | |

| |derajat kedua atau ketiga, asma aktif, atau| |

| |penyakit saluran napas reaktif). (Level of | |

| |Evidence: B) | |

|Pasien dengan kontraindikasi awal dalam 24 jam|Pasien dengan kontraindikasi awal dalam 24 |Rekomendasi 2004 tetap |

|pertama STEMI harus dievaluasi untuk |jam pertama STEMI harus dievaluasi untuk |di Pembaruan 2007 |

|perencanaan terapi beta-blocker sebagai |perencanaan terapi beta-blocker sebagai | |

|pencegahan sekunder. (Level of Evidence: C) |pencegahan sekunder. (Level of Evidence: C)| |

|Pasien dengan kegagalan LV sedang atau berat |Pasien dengan kegagalan LV sedang atau |Rekomendasi 2004 tetap |

|harus menerima terapi beta-blocker sebagai |berat harus menerima terapi beta-blocker |di Pembaruan 2007 |

|pencegahan sekunder dengan skema titrasi |sebagai pencegahan sekunder dengan skema | |

|bertahap. (Level of Evidence: B) |titrasi bertahap. (Level of Evidence: B) | |

|Class IIa |

|Hal ini wajar untuk mengelola beta blocker IV |Hal ini wajar untuk mengelola blocker IV |Rekomendasi Modifikasi |

|segera untuk pasien STEMI tanpa |beta pada saat pasien STEMI disertai | |

|kontraindikasi, terutama jika takiaritmia atau|hipertensi dan yang tidak memiliki salah | |

|hipertensi. (Level of Evidence: B) |satu dari berikut: 1) tanda-tanda gagal | |

| |jantung, 2) output yang rendah, 3) | |

| |meningkatnya risiko * syok kardiogenik, | |

| |atau 4) kontraindikasi relatif lainnya | |

| |terhadap blokade beta (interval PR lebih | |

| |besar dari 0,24 detik, blok jantung derajat| |

| |kedua atau ketiga, asma aktif, atau | |

| |penyakit saluran napas reaktif). (Level of | |

| |Evidence: B) | |

|CLASS III |

| |Beta blocker IV tidak boleh diberikan |Rekomendasi Baru |

| |kepada pasien STEMI yang memiliki salah | |

| |satu dari berikut: 1) tanda-tanda gagal | |

| |jantung, 2) output yang rendah, 3) | |

| |meningkatnya risiko syok kardiogenik, atau| |

| |4) kontraindikasi relatif lain untuk beta | |

| |blokade (interval PR lebih besar dari 0,24 | |

| |detik, blok jantung derajat kedua atau | |

| |ketiga , asma aktif, atau penyakit saluran | |

| |napas reaktif). (Level of Evidence: A) | |

|Faktor risiko syok kardiogenik (semakin besar jumlah faktor risiko yang ada, semakin tinggi risiko terjadinya syok |

|kardiogenik) adalah usia lebih dari 70 tahun, tekanan darah sistolik kurang dari 120 mm Hg, sinus takikardia lebih |

|besar dari 110x/m atau denyut jantung kurang dari 60 x/m, dan peningkatan waktu sejak timbulnya gejala STEMI. |

Sumber:

D) Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif (Firdaus, 2011).

Sumber : Steg, Et al, 2012

DAFTAR PUSTAKA

Antman. (2004). Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction.

Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction—Executive Summary. Diakses dari .

Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25). Diakses dari .

Ditjen Farmasi, Depkes, (2006). pharmaceutical care untuk pasien penyakit jantung koroner fokus sindrom koroner akut.

Farissa, (2006). Komplikasi pada Pasien IMA STEMI. eprints.undip.ac.id.

Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang.

Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI Jurnal Kardiologi Indonesi. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773.

Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/3773

Gabriel,James(2012).AMI-STEMI. Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent st-segment elevation. Diakses dari guidelines

Green, (2012). Systems of Care for ST-Segment-Elevation Myocardial Infarction: A Report From the American Heart Association's Mission.

Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology (TSOC) for the Management of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Vol. 28. (63-89). Diakses dari

Hoekstra, (2010). Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the Emergency Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular and Neurovascular Emergencies. Diakses dari .

Murphy, Et al. (2007). Efficacy and safety of the low-molecular weight heparin enoxaparin compared with unfractionated heparin across the acute coronary syndrome spectrum: a meta-analysis. European Heart Journal. Vol 28. (2077–2086). Diakses dari .

Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs. unfractionated heparin in the setting of percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: a meta-analysis. Journal of Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (1902–1915). Diakses dari .

Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational Database in ST-Elevation Myocardial Infarction Patients Undergoing Percutaneous Coronary Bivalirudin Therapy Is Associated With Improved Clinical and Economic Outcomes. Journal Of American Hearth Association. Vol 5. (52-61). Diakses dari .

Sani, M. (2010). Use of bivalirudin for Acute Coronary Syndromes. The British Journal of Clinical Pharmacy. Vol 2. (8-10). Diakses dari .

Scherer. (2009). Guideline Update for the Management of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Volume 79, Number 12 June 15.University of Alberta Faculty of Medicine and Dentistry.

Steg, Et al. (2012). ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. Vol 33. (2569–2619). Diakses Guidelines_AMI_STEMI.pdf.

Zulkarnaini (2008). Stroke Iskemik Pasca Terapi Fibrinolitik.Jurnal Kardiologi Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesisa 2008; 29:32-9 ISSN 0126/3773

................
................

In order to avoid copyright disputes, this page is only a partial summary.

Google Online Preview   Download