Drs



RESUME by Tarunasena:THE JAPANESE EDUCATION SYSTEM : A CASE STUDY SUMMARY AND ANALYSISSupriadi, D. (compiler).(1998b). International Perspectives on Education. PPS IKIP BandungThe Third International Mathematics And Science Study (TIMSS) menghasilkan usulan kepada warga Amerika bahwa “”dengan melihat tujuan kita untuk menjadi terbaik di antara bangsa-bangsa, ternyata kita tidak berada pada tempat yang seharusnya.” Penilaian TIMSS menunjukkan bahwa pelajar kelas 4 di Amerika Serikat mampu memahami sain dengan baik tetapi sebenarnya terdapat cukup banyak ruang untuk pengembangan dalam matematika dan sain. Sementara itu, Jepang tetap berada di puncak yang dengan konsisten secara international dalam bidang matematika dan sain. Sistem pendidikan Jepang bisa dijadikan masukan yyang bermanfaat bagi peningkatan proses belajar mengajar di Amerika Serikat. Departemen Pendidikan Amerika Serikat mengangkat suatu studi kasus, yang didokumentasikan dalam tulisan The Educational System in Japan. Case Study Findings (The Japan Study). Studi Jepang menunjukkan satu penjelasan yang masuk akal bagi keberhasilan Jepang, dalam TIMSS: sistem pendidikan Jepang secara aktif membangun motivasi siswa untuk belajar. Setiap bagian dalam studi Jepang memberikan contoh-contoh yang jelas mengenai bagaimana sistem tersebut bekerja untuk memotivasi siswa Jepang. Empat bagian studi Jepang adalah: (1) standar akademik, (2) perbedaan pribadi siswa, (3) kehidupan remaja, dan (4) kehidupan guru.Banyak pendidik yang merujuk pada peran standar kurikulum dalam sistem pendidikan, bersama beberapa pengamat lainnya berkeyakinan bahwa standar matematika dan sain yang menantang di Jepang yang menentukan keberhasilan siswa-siswanya di TIMSS. Standar yang disusun oleh kementerian pendidikan Jepang tersebut telah benar-benar menyediakan kerangka berupa suatu kurikulum yang menarik dan menantang dalam bidang matematika dan sain bagi siswa-siswa Jepang. Dalam hal ini materi yang menarik memberikan perbedaan derajat perhatian pada siswa-siswanya.Kementerian Pendidikan Jepang menekankan penciptaan siswa yang matang di sekolah dasar dan menengah melalui berbagai bidang pelajaran dalam kurikulum nasional. Mereka menyusun standar jam per pelajaran dalam kurikulum nassional SD, menekankan pelajaran seperti musik, kesenian dan keterampilan tangan, tata rumah, pendidikan fisik, dan mengenai pendidikan moral seperti halnya matematika dan sains. Standar-standar terseb ut juga menyediakan jumlah waktuyang banyak untuk aktivitas hidup dan bahasa Jepang. Suatu pelajaran yang memberikan siswa muda suatu pengalaman hidup pribadi dalam persiapan untuk sain yang berorientasi pada kehidupan kelas. Dalam pembelajaran aktivitas hidup, siswa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seperti memetik bunga, menangkap katak dan serangga, membesarkan kelinci, dan mengamati bintang jatuh.Dalam Pengajaran Kelas Menyeluruh (The Whole-Class Instruction) di Jepang, siswa pada semua tingkat kemampuan menyelesaikan satu pelajaran secara bersamaan dan interaktif di suatu ruangan kelas. Misalnya daripada mengajar dengan kaku, seorang guru matematika lebih baik meminta seorang siswanya berdiri untuk menerangkan solusi-solusinya di hadapan kelas, dan kemudian meminta siswa lainnya untuk mengevaluasi setiap solusi. Pengajaran kelas menyeluruh digunakan terutama dalam kelas sekolah dasar dan sekolah menengah.Pengajaran sekolah menyeluruh tampaknya memainkan suatu peran yang besar dalam kesuksesan akademik siswa di Jepang. Hal ini berlawanan dengan informasi yang beredar bahwa sekolah-sekolah di Jepang menjejali siswa pintarnya dengan latihan matematika dan sain semenjak usia dini untuk menghasilkan suatu prestasi yang tinggi. Sebenarnya hanya di sekolah menengah dimulai penelusuran dan pembimbingan untuk ujian masuk sekolah tinggi. Pengajaran Sekolah Menyeluruh di Jepang tampaknya menawarkan suatu dukungan motivasi yang lebih besar dibandingkan dengan cara penelusuran dan pembimbingan, yaitu melalui cara: menekankan usaha berdasarkan kemampuan, banyak melibatkan siswa, menciptakan hubungan kelas yang kuat, dan mempersatukan kelas.Berdasarkan temuan studi oleh TIMSS, siswa kelas 8 Amerika Serikat dan Jepang rata-rata menghabiskan jumlah waktu yang sama dalam sehari (sekitar 30 menit sampai 1 jam) untuk mengerjakan pekerjaan rumah matematika dan sain. Remaja Jepang tidak menghabiskan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan remaja Amerika Serikat dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya. Tetapi struktur rutinitas keseharian mereka memberikan dukungan yang lebih konsisten untuk pengalaman pendidika. Partisipasi siswa Jepang dalam aktivitas lainnya setelah sekolah dapat mendorong usaha dan kinerja akademik yang tinggi.Sistem sekolah di Jepang tidak menggunakan sistem manajemen sekolah yang otoriter dan sentralistik yang menekankan kepatuhan siswa terhadap gurunya dan kepatuhan guru kepada administratornya. Sekolah di Jepang menerapakan suatu sistem yang lebih bersifat kekeluargaan dibandingkan dengan kebanyakan sekolah di AS, suatu sistem yang dapat menimbulkan satu atmosfir pengajaran dan pembelajaran yang bermutu tinggi.Jepang telah sukses dalam menghasilkan banyak siswa yang bermotivasi tinggi melalui pengembangan kurikulum yang menyeluruh, menggunakan pengajaran kelas menyeluruh, mendorong aktivitas setelah jam sekolah yang berkaitan dengan sekolah, dan mendukung interaksi guru dan siswa yang bersifat kekeluargaan. Namun, tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini, studi ini mengidentifikasi beberapa masalah umum menyangkut motivasi siswa, seperti:Kehilangan semangat/minat bersekolah. Ketika siswa dihadapkan ujian masuk ke sekolah tinggi yang menyebabkan percepatan pembelajaran kelima mata pelajaran menjadi lebih tergesa dan lebih diperdalam. Pengaruhnya terlihat jelas pada siswa yang pada dasarnya sudah diliputi ketakutan terhadap beban yang akan dihadapinya.Sindrrom penolakan sekolah (School-refusal syndrome). Siswa yang mempunyai masalah dalam penyesuaian secara sosial tampaknya banyak menderita sindrom penolakan sekolah. Sebanyak 10.000 siswa sekolah dasar dan hampir 50.000 siswa sekolah menengah yang memiliki sindrom penolakan sekolah dapat saja tidak hadir di sekolahnya selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Penyembuhannya, biasanya dengan menghubungkan kembali siswa secara bertahap dengan kehidupan sosialnya di sekolah dengan mendorong mereka menghadiri satu kelas non-akademik dan melibatkan mereka dalam lebih banyak lagi aktivitas sekolah.Kekerasan di lingkungan sekolah. Masih terdapat suatu keprihatinan yang terus berkembang mengenai kekerasan di sekolah di Jepang, dimana banyak guru yang menghubungkannya dengan ketidakharmonisan hubungan orangtua dengan anaknya, seperti halnya antara guru dan siswa.Sistem pendidikan Jepang sama sekali tidaklah sempurna dalam usaha-usahanya untuk membangun siswa yang bermotivasi. Namun, masalah-masalah tersebut di atas mencerminkan pentingnya bagi para pendidik untuk berkonsentrasi lebih dalam pada penguatan motivasi siswa. Penjelasan dan perbaikan terhadap masalah-masalah ini memperkuat tingkat pentingnya usaha untuk menciptakan suatu kurikulum yang bulat dan persahabatan yang didasarkan pada sekolah seefektif prinsip-prinsip pengembangan motivasi. ................
................

In order to avoid copyright disputes, this page is only a partial summary.

Google Online Preview   Download