WordPress.com



LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. YS

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan  : Menikah

Pekerjaan : Buruh bangunan

Alamat : Banyubiru, Semarang

ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa di Poliklinik Saraf RSUD Ambarawa pada tanggal 16 September 2015. Pasien merupakan pasien yang rutin kontrol setiap dua minggu sekali.

Keluhan Utama

Tidak bisa berjalan sejak ±1 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak setahun yang lalu, pasien mengeluh kesemutan pada kedua lutut sampai telapak kaki. Kesemutan timbul terus menerus. Kesemutan dirasa semakin lama semakin parah. Pasien dipijit kakinya untuk mengurangi gejala namun tidak berkurang.

Selain kesemutan, pasien juga mengeluh ada perbedaan sensasi raba antara pusar ke atas dengan pusar ke bawah, pusar ke bawah tidak merasakan sensasi apa-apa, baik disentuh, dicubit atau terkena panas. Rasa baal pada kedua lutut sampai kedua telapak kaki tidak disertai nyeri.

Punggung bawah kanan dan kiri terasa nyeri. Nyeri terasa seperti ada sensasi panas. Nyeri terasa terus menerus. Nyeri bertambah bila pasien terlalu lama duduk atau tiduran dan berkurang bila pasien berusaha mengubah-ubah posisi. Kedua tangan dan kaki bisa digerakan. Pasien bisa berdiri,tetapi hanya bertahan ±1-2 detik saja. Pasien tidak bisa berjalan.

6 bulan SMRS, pasien mengeluh susah BAK dan BAB. Sensasi keinginan untuk berkemih dan BAB ada, tapi untuk mengeluarkannya tidak ada kekuatan. Sulit BAK dapat diatasi dengan pemasangan kateter.

Pasien datang ke poliklinik saraf RSUD Ambarawa dengan keluhan tidak bisa berjalan. Rutin kontrol, namun untuk mengetahui diagnosis pasti dan pengobatan lebih lanjut, dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi. Pasien menjalani rawat inap selama 11-26 Agustus 2015.

Nafsu makan tidak turun. Penurunan berat badan ada, namun tidak drastis. Demam sebelum keluhan kesemutan dan baal pada kedua tungkai disangkal.

Keluhan nyeri kepala dan pusing disangkal, kejang disangkal. Tidak ada gangguan dalam berkomunikasi.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat hipertensi : disangkal

• Riwayat DM : disangkal

• Riwayat cedera kepala, leher, punggung: disangkal

• Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Hipertensi disangkal.

- Riwayat Diabetes Mellitus disangkal.

- Riwayat Alergi disangkal.

Anamnesa Sistem

Sistem Serebrospinal  : Tidak bisa berjalan, kesemutan dan baal pada kedua kaki

Sistem Kardiovaskular : Tidak ada keluhan

Sistem Respirasi : Sesak (-)

Sistem Gastrointestinal : Mual (-), Muntah (-)

Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan

Sistem Integumental : Kesemutan dan baal pada kedua lutut sampai kaki

Sistem Urogenital : Sulit BAK dan BAB disangkal

DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis Klinis : Paralisis, parahipestesia dan paraparese ekstremitas inferior

Diagnosis Topis : Lesi setinggi segmen medula spinalis

Diagnosis Etiologis : Tumor medulla spinalis proses kompresi

dd/ proses inflamasi

dd/ proses degeneratif

DISKUSI I

Dari anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki usia 42 tahun dengan keluhan tidak bisa berjalan. Tidak bisa berjalan disebabkan oleh karena fungsi motorik terganggu. Fungsi motorik yang terganggu bisa diakibatkan oleh lesi di UMN atau di LMN. Pada pasien keluhan tidak bisa berjalan berjalan kronik. Dimana awalnya pasien mengeluh kesemutan, baal dan kemudian memburuk menjadi tidak bisa berjalan selama ±1 tahun belakangan. Perjalanan penyakit kronik dapat mengarahkan penyebab kelainan pada ekstremitas inferior adalah tumor, terutama tumor medulla spinalis. Sebab pada anamnesis tidak didapatkan kelainan seperti nyeri kepala atau kejang pada riwayat perjalanan penyakit.

Menentukan tinggi lesi medula spinalis berdasarkan :

• Gangguan Motorik biasanya timbul kelumpuhan yg sifatnya paraparese / tetraparese

- Paraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis lumbosakral (L2-S2).

- Paraparese LMN : lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infra nuklear.

- Tetraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis servikal IV.

- Tetraparese : ekst.superior LMN, ekst. Inferior UMN

• Gangguan Sensibilitas

a. Gangguan rasa eksteroseptif( dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.

b. Gangguan rasa proprioseptif

• Gangguan sensibilitas segmental :

← Lipatan paha : lesi Medula spinalis L1

← Pusat : lesi med. spinalis thorakal 10

← Papila mammae : lesi med. spinalis th. 4

← Saddle Anestesia : lesi pada konus

• Gangguan sensibilitas radikuler :

← Ggn sensibilitas sesuai dgn radiks post.

• Gangguan sensibilitas perifer :

← Glove/stocking anestesia 

• Gangguan Susunan Saraf Otonom

- Produksi keringat

- Bladder : berupa inkontinensia urinae atau uninhibited bladder.

➢  Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medula spinalis supranuklear terhadap segmen sakral.

➢ Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral medula spinalis.

Keluhan baal pada tungkai bawah kanan dan kiri pada pasien merupakan gangguan sensorik superficial atau gangguan ekteroseptif yang negatif yang merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologik. Selain baal, pada pasien juga didapatkan keluhan kesemutan yang timbul terus menerus sejak 1 tahun yang lalu hingga saat ini.

Gejala sensorik dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Hilangnya perasaan (anestesia).

2. Perasaan berlebihan jika dirangsang (hiperestesia). 

3. Perasaan yang timbul spontan tanda adanya perangsangan (parestesia)

4. Nyeri.

5. Gerakan canggung atau simpang siur. 

6. Gangguan sensorik negatif. 

1) Hemihipestesia

2) Hipestesia alternans

3) Hipestesia tetraplegik

4) Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)

5) Hemihipestesia sindrom brown sequard

6) Hipestesia radikular

7) Hipestesia perifer

Keluhan sulit BAK dan BAB juga sempat ada sebelumnya. Hal ini bisa disebabkan adanya kelainan pada saraf yang mengatur BAK maupun BAB. Meskipun demikian, kelainan BAK berasal dari kelainan sistem urogenital, begitu pula kelainan BAB yang disebabkan kelainan sistem gastrointestinal, belum dapat disingkirkan. Masih diperlukan pemeriksaan fisik dan penunjang lebih lanjut.

Pasien mengaku bahwa walaupun nafsu makannya tetap, bahkan cenderung bertambah, pasien mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Dari keterangan tersebut bisa dipikirkan kemungkinan suatu neoplasma pada spinal.

TUMOR MEDULLA SPINALIS

Definisi

Tumor medula spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada daerah cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas tumor primer dan sekunder. Tumor primer adalah tumor yang jinak yang berasal dari tulang, serabut saraf, selaput otak dan jaringan otak dan tumor yang ganas yang berasal dari jaringan saraf dan sel muda seperti Kordoma. Tumor sekunder merupakan metastase dari tumor ganas di daerah rongga dada, perut , pelvis dan tumor payudara.8

Epidemiologi

Di Indonesia. jumlah penderita tumor medula spinalis belum diketahui secara pasti. Jumah kasus tumor medula spinalis di Amerika Serikat mencapai 15% dari total jumlah tumor yang terjadi pada susunan saraf pusat denganperkiraan insidensi sekitar 0,5-2,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Jumlah penderita pria hampir sama dengan wanita dengan sebaran usia antara 30 hingga50 tahun. Diperkirakan 25% tumor terletak di segmen servikal, 55% di segmen thorakal dan 20% terletak di segmen lumbosakral.9,10

Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma,astrositoma dan hemangioblastoma. Ependimoma lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia pertengahan(30-39 tahun) dan jarang terjadi pada usiaanak-anak. Insidensi ependidoma kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah lumbosakral.13

Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada medula spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumorspinal intramedular yang tersering pada usia anak-anak, tercatat sekitar 90% daritumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan sekitar 60% padaremaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di segmen servikaldan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal, lumbosakral atau pada conus medularis.Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yangtumbuh lambat dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedularmedula spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya muncul pada dekade awal danmempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan perempuan 1,8 : 1. 11,12

  Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma. Schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah lumbal. Meningioma merupakan tumor kedua tersering padakelompok intradural-ekstramedullar tumor. Meningioma menempati kira-kira 25%dari semua tumor spinal. Sekitar 80%dari spinal meningioma terlokasi pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2%pada foramen magnum. 11,12

Klasifikasi

Tumor ini dapat dibedakan atas :

A. Tumor primer:

1) Jinak

a) Osteoma dan kondroma berasal dari tulang

b) Neurinoma (Schwannoma) berasal serabut saraf

c) Meningioma berasal dari selaput otak

d) Glioma, Ependinoma berasal dari jaringan otak.

2) Ganas

a) Astrocytoma, Neuroblastoma, yang berasal dari jaringan saraf.

b) sel muda seperti Kordoma.

B. Metastasis Ca. mamae, prostat,

Berdasarkan letak :

• Intradural - ekstramedular

• Intradural - intramedular

• Ekstradural

[pic]

[pic]

[pic]

Gambar 3. (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural*

[pic][pic][pic]

Etiologi Dan Patogenesis

Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam tahap penelitian adalah virus, kelainan genetik, dan bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh sel-sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang kemudian menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medulaspinalis yang normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut.14

Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut. Riwayat genetik kemungkinan besar sangat berperan dalam peningkatan insiden pada anggota keluarga misal pada neurofibromatosis. Astrositoma dan neuroependimoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2 (NF2), di mana pasien dengan NF2 memiliki kelainan pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan Von Hippel-Lindou Syndrome sebelumnya, yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.13

Manisfestasi Klinis

Menurut Cassiere, perjalanan penyakit tumor medula spinalis terbagi dalam tiga tahapan10, yaitu:

← Ditemukannya sindrom radikuler unilateral dalam jangka waktu yang lama

← Sindroma Brown Sequard

← Kompresi total medula spinalis atau paralisis bilateral

Keluhan pertama dari tumor medula spinalis dapat berupa nyeri radikuler, nyeri vertebrae, atau nyeri funikuler. Secara statistik adanya nyeri radikuler merupakan indikasi pertama adanya space occupying lesion (SOL) pada kanalis spinalis dan disebut pseudo neuralgia pre phase. Dilaporkan 68% kasus tumor spinal sifat nyerinya radikuler, laporan lain menyebutkan 60% berupa nyeri radikuler, 24% nyeri funikuler dan 16% nyerinya tidak jelas. 10

Nyeri radikuler dicurigai disebabkan oleh tumor medula spinalis bila:

▪ Nyeri radikuler hebat dan berkepanjangan, disertai gejala traktuspiramidalis

▪ Lokasi nyeri radikuler diluar daerah predileksi HNP seperti C5-7, L3-4, L5,S1

Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler adalah tumor yang terletak intradural-ekstramedular, sedang tumor intramedular jarang menyebabkan nyeri radikuler. Pada tumor ekstradural sifat nyeri radikulernya biasanya hebat dan mengenai beberapa radiks. 10

Tumor-tumor intrameduler dan intradural-ekstrameduler dapat juga diawali dengan gejala TIK seperti: hidrosefalus, nyeri kepala, mual dan muntah, papiledema, gangguan penglihatan, dan gangguan gaya berjalan. Tumor-tumor neurinoma dan ependimoma mensekresi sejumlah besar protein ke dalam likuor, yang dapat menghambat aliran likuor di dalam kompartemen subarakhnoid spinal,dan kejadian ini dikemukakan sebagai suatu hipotesa yang menerangkan kejadian hidrosefalus sebagai gejala klinis dari neoplasma intraspinal primer.5

Bagian tubuh yang menimbulkan gejala bervariasi tergantung letak tumor di sepanjang medula spinalis. Pada umumnya, gejala tampak pada bagian tubuh yang selevel dengan lokasi tumor atau di bawah lokasi tumor. Contohnya, pada tumor di tengah medula spinalis (pada segmen thorakal) dapat menyebabkan nyeri yang menyebar ke dada depan (girdle shape pattern) dan bertambah nyeri saat batuk, bersin, atau membungkuk. Tumor yang tumbuh pada segmen cervical dapat menyebabkan nyeri yang dapat dirasakan hingga ke lengan, sedangkan tumor yang tumbuh pada segmen lumbo sacral dapat memicu terjadinya nyeri punggung atau nyeri pada tungkai.7

Tumor Ekstradural

Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan kompresi pada medula spinalis dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri radikuler dapat merupakan gejala awal pada 30% penderita tetapi kemudian setelah beberapa hari, minggu/bulan diikuti dengan gejala mielopati. Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks,yang mulanya hilang dengan istirahat, tetapi semakin lama semakin menetap/persisten, sehingga dapat merupakan gejala utama, walaupun terdapat gejala yang berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor metastase ini dapat terjadi spontan, dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada vertebrae, nyeri demikian lebih dikenal dengan nyeri vertebrae.

Tumor Metastasis Keganasan Ekstradural memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 5

1) Sebagian besar tumor spinal (>80 %) merupakan metastasis keganasan terutama dari paru-paru, payudara, ginjal, prostat, kolon, tiroid, melanoma, limfoma, atau sarkoma.

2) Yang pertama dilibatkan adalah korpus vertebra. Predileksi lokasi metastasis tumor paru, payudara dan kolon adalah daerah toraks, sedangkan tumor prostat, testis dan ovarium biasanya ke daerah lumbosakral.

3) Gejala kompresi medula spinalis kebanyakan terjadi pada level torakal, karena diameter kanalisnya yang kecil (kira-kira hanya 1cm).

4) Gejala akibat metastasis spinal diawali dengan nyeri lokal yang tajam dan kadang menjalar (radikuler) serta menghebat pada penekanan atau palpasi

Tumor Intradural-Ekstramedular 3

Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler kronik progresif. Kejadiannya ± 70% dari tumor intradural, dan jenis yang terbanyak adalah neurinoma pada laki-laki dan meningioma pada wanita.

1) Neurinoma (Schwannoma) memiliki karakteristik sebagai berikut:

▪ Berasal dari radiks dorsalis

▪ Kejadiannya ± 30% dari tumor ekstramedular

▪ 2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya padasatu sisi dan dialami dalam beberapa bulan sampai tahun, sedangkangejala lanjut terdapat tanda traktus piramidalis

▪ 39% lokasinya disegmen thorakal.

2) Meningioma memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

▪ 80% terletak di regio thorakalis dan ±60% pada wanita usia pertengahan

▪ Pertumbuhan lambat

▪ Pada ± 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering dengangejala traktus piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikulerbiasanya bilateral dengan jarak waktu timbul gejala lain lebih pendek.

Tumor Intradural-Intramedular 10,11

Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus seperti rasa terbakar dan menusuk, kadang-kadang bertambah dengan rangsangan ringan seperti electric shock like pain

(Lhermitte sign)

1) Ependinoma memiliki ciri-ciri :

▪ Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun

▪ Wanita lebih dominan

▪ Nyeri terlokalisir di tulang belakang

▪ Nyeri meningkat saat malam hari atau saat bangun

▪ Nyeri disestetik (nyeri terbakar)

▪ Menunjukkan gejala kronis

▪ Jenis miksopapilari rata-rata pada usia 21 tahun, pria lebih dominan

2) Astrositoma memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

▪ Prevalensi pria sama dengan wanita

▪ Nyeri terlokalisir pada tulang belakang

▪ Nyeri bertambah saat malam hari

▪ Parestesia (sensasi abnormal)

3) Hemangioblastoma memiliki karakter sebagai berikut:

▪ Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun

▪ Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak pada 1/3 dari jumlah pasien keseluruhan.

▪ Penurunan sensasi kolumna posterior

▪ Nyeri punggung terlokalisir di sekitar lesi

Pemeriksaan Penunjang14

Cairan spinal

Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein danxantokhrom, dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam mengambil dan memperoleh cairan spinal dari pasien dengan tumor medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian dapat berubah menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang komplit.

Foto Polos

Foto polos tulang belakang berguna untuk skrining, memperlihatkan kelainan pada 90 % pasien dengan tumor sekunder kolom tulang belakang. Evaluasi foto polos harus termasuk penilaian :

1. Perubahan tulang kualitatif (litik, blastik, sklerotik). Kebanyakan metastasis spinal memperlihatkan perubahan osteolitik. Perubahaan sklerotik atau osteoblastik paling sering terjadi pada metastasis dari payudara atau prostat.

2. Daerah yang terkena (elemen posterior, pedikel, badan tulang belakang). Tidak lazim metastasis spinal mengenai hanya elemen posterior (spine dan lamina). Lebih sering fokus tumor berlokasi di badan tulang belakang, menyebabkan kompresi kantung dural serta isinya dari depan. Paling sering, metastasis spinal mengenai dari lateral, didaerah pedikel, dan meluas keanterolateral dan keposterolateral. Erosi pedikel lebih dini dan paling sering kelainannya tampak pada foto polos tulang belakang pasien dengan metastasis spinal. Radiograf anteroposterior tulang belakang biasanya menampilkan “totem of owls”. Erosi pedikel menimbulkan tanda “winking owls”; erosi pedikel bilateral menampilkan tanda “blinking owl”.

3. Temuan lain (bayangan jaringan lunak paraspinal, tulang belakang yangkolaps, fraktura dislokasi patologis, dan mal alignment). Daerah erosi pedikel sering bersamaan dengan bayangan jaringan lunak paravertebral. Hilangnya integritas struktural bisa menyebabkan kolaps tulang belakang dengan kompresi baji. Destruksi lebih lanjut badan tulang belakang bisa berakibat fraktura dislokasi patologis. Fraktura dislokasi patologis paling sering terjadi didaerah servikal, dimana pergerakan leher luas, posisi tergantungnya kepala, dan hilangnya sanggaan rangka iga, semua berperan menempatkannya pada risiko integritas struktural kolom spinal dan alignment anatomik kanal spinal.

Scan Tulang

Menggunakan radioisotop, bisa memperlihatkan adanya tumor spinal metastatik pada tahap lebih awal dibanding foto polos. Diduga 50-75 % ruang meduler vertebral tergantikan sebelum perubahan radiografik tampak. Namun sken tulang relatif tidak spesifik. Perubahan degeneratif dan infeksi, seperti tumor spinal, menyebabkan take positif. Kegunaan sken tulang adalah untuk menunjukkan adanya pertumbuhan skeletal multipel.

Mielografi

Dimasa lalu merupakan standar untuk menunjukkan lokasi dan tingkat kord spinal dan akar saraf yang terganggu tumor spinal. Tumor spinal ekstradural, intradural ekstrameduler dan intrameduler dibedakan dengan pola khas mielografik. Deviasi kolom kontras menunjukkan asal (anterior, lateral, posterior) massa penekan. Bila tingkat blok total ditemukan dengan mielografi lumbar adalah berbeda dengan penilaian klinis, mielografi sisternal harus dilakukan untuk menentukan perluasan lesi soliter atau untuk menentukan tingkat yang lebih proksimal yang terkena. MRI sudah menggantikan mielografi sebagai prosedur diagnostik.9

Tomografi Aksial Terkomputer (CT scanning)

Berguna menampilkan distribusi tumor spinal, pergeseran kord spinal dan akar saraf, derajat destruksi tulang, dan perluasan paraspinal dari lesi dalam dataran horizontal. Juga efektif membedakan kelainan degeneratif jinak tulang belakang dari lesi neoplastik.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan terpilih untuk tumor spinal termasuk metastasis. MRI memungkinkan penampilan kolom spinal menyeluruh dalam potongan sagital untuk memastikan tingkat terbatas yang terkena, penyebaran tumor berdekatan pada tingkat multipel, atau fokus tumor berbeda pada tingkat multipel. Rekonstruksi horizontal dan koronal memberikan informasi penting atas geometri tumor, berguna dalam merencanakan operasi dekompresi, juga memberi data mengenai integritas penulangan tulang belakang, penting dalam memutuskan rekonstruksi tulang belakang. MRI mungkin kontra indikasi pada pasien dengan prostetik dan implant, dimana disini dilakukan mielografi disertai CT.

Penatalaksanaan

Tumor Jinak

Tindakan atas neurilemmoma, neurofibroma dan meningioma adalah reseksi bedah yang biasanya dapat dilakukan lengkap. Terapi radiasi tidak diindikasikan. 11

Tumor Metastasis

Dirancang untuk mengurangi nyeri dan untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi neurologis. Namun mengurangi nyeri serta menjaga atau memulihkan fungsi neurologis berperan tidak ternilai dalam menjaga kualitas sisa hidup penderita kanser dan mengurangi kesulitan perawatan. Tindakan radiasi, bedah atau kombinasinya tetap kontroversi. Radioterapi biasa dipikirkan sebagai terapi inisial bagi kebanyakan pasien dengan tumor spinal sekunder radiosensitif yang bergejala dengan tanpa defisit neurologis atau minimal, terutama efektif untuk lesi limforetikuler. Operasi dipikirkan sebagai pilihan terakhir. Indikasi operasi biasanya adalah gagal atas radiasi, diagnosis tidak diketahui, fraktur/dislokasi patologis dan paraplegia yang berlangsung cepat atau sudah berjalan lanjut.11

Prognosis

Prognosis pasien dengan metastasis spinal simptomatis bervariasi. Tindakan tergantung beratnya defisit, lamanya gejala, jenis tumor, lokasi tumor dan derajat penyakit.12

Spinal hemangioma umumnya dikenal sebagai neoplasma vaskuler benigna yang berlokasi pada torakal dan lumbal spinal dengan insiden tertinggi pada empat sampai enam dekade terakhir. Seringkali ditemukan pada 11% hasil otopsi. 60% tidak menunjukkan gejala dan tidak bergantung pada jenis kelamin penderita.

Pada hemangioma yang simtomatik gejala yang sering terjadi meliputi nyeri punggung, nyeri radikuler, atau nyeri karena kompresi spinal cord serta kelemahan tungkai. Gejala akut bisa terjadi akibat fraktur kompresi, epidural extension dan sudden mass effect serta perdarahan.

Nyeri punggung terutama pada punggung tengah atau bawah merupakan gejala tersering yang menyertai spinal hemangioma. Nyeri bisa memburuk baik saat malam hari maupun saat pasien terjaga. Nyeri juga dapat menjalar ke pinggang, tungkai bawah, kaki, atau bahu sebagai penyebaran hemangoma.

• Hilangnya sensasi atau kelemahan pada otot terutama otot tungkai bawah.

• Menurunnya sensitivitas untuk merasakan nyeri, panas maupun dingin.

• Hilangnya fungsi BAK dan BAB

• Pada derajat tertentu mungkin disertai paralisis dan pada bagian lain tubuh yang sama-sama dipersarafi oleh nervus yang mengalami kompresi.

• Skoliosis atau deformitas spinal lain

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kesadaran : Compos Mentis GCS E4V5M5

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Tanda Vital

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Denyut nadi : 82 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,0oC

Kepala : Normocephal

Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, suhu raba normal, turgor kulit baik.

Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata.

Wajah : Deformitas (-), pigmentasi (-)

Mata : Subconjuntival hemorrhage (-/-) edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 3 mm, RCL +/+, RCTL +/+, refleks kornea +/+.

Mulut : VE pada bibir (-), Bibir pucat (-), gusi berdarah (-), Maloklusi (-)

Telinga : OD ( bentuk normal, lubang lapang, serumen -, OS ( bentuk normal, lubang lapang, serumen , discharge (-), otorrhea (-), perdarahan (-), nyeri tekan tragus (-).

Hidung : Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-),perdarahan (-), rhinorrhea (-),

Leher : Jejas (-), simetris, tidah ada deviasi trakhea, JVP ≠ meningkat, pembesaran limfonodi cervical   (-/-), leher kaku (-)

Thoraks

Paru

Inspeksi : Bentuk normal, gerak kedua hemitoraks simetris pada saat statis dan dinamis

Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri

Perkusi : sonor di hemithoraks kiri dan kanan

Auskultasi : suara napas vesikuler +/+ , rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea   midclavicula sinistra, kuat angkat

Perkusi : Batas kanan ICS V linea sternalis dekstra; batas kiri ICSV linea midclavicula sinistra ; batas atas ICS III linea sternalis sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi : tampak datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran   hepar dan lien.

Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen,nyeri ketok CVA(-)

Urogenital : Tidak diperiksa

Ekstremitas : edema ekstremitas inferior et superior (-/-), sianosis (-), ikterik (-), VE a/r brakhialis dekstra, VL a/r cruris dekstra, granulasi (-)

Status Neurologis

Sikap tubuh : Simetris

Gerakan abnormal : tidak ada

Nervus Kranialis

N I (Olfaktorius) Kanan Kiri

Daya Penghidu N N

N II (Optikus)

Daya penglihatan N N

Pengenalan warna N N

Medan penglihatan N N

N III (Okulomotorius)

Ptosis - -

Gerakan bola mata ke

Superior N N

Inferior N N

Medial N N

Ukuran pupil 3 mm 3 mm

Bentuk pupil bulat bulat

Reflek cahaya langsung + +

Reflek cahaya tidak langsung + +

Strabismus divergen - -

N IV (Troklearis)

Gerak bola mata ke lateral bawah N N

Strabismus konvergen - -

Menggigit N N

Membuka mulut N N

N V (Trigeminus)

Sensibilitas muka N N

Refleks kornea + +

Trismus - -

N VI ( Abdusens)

Gerakan mata ke lateral N N

Strabismus Konvergen - -

N VII (Facialis)

Kerutan kulit dahi simetris simetris

Kedipan mata N N

Mengerutkan dahi simetris simetris

Mengerutkan alis simetris simetris

Menutup mata N N

Lipatan nasolabial simetris simetris

Sudut mulut simetris simetris

Meringis N N

Menggembungkan pipi N N

Daya kecap lidah 2/3 depan + +

N VIII (Akustikus)

Mendengar suara + +

Mendengar detik arloji + +

Tes Rinne tidak dilakukan

Tes Schwabah tidak dilakukan

Tes Weber tidak dilakukan

N IX (Glosofaringeus)

Daya kecap lidah 1/3 belakang + +

Reflek muntah + +

Sengau - -

Tersedak - -

N X (Vagus)

Denyut nadi 82x/ menit, reguler, kuat angkat

Bersuara + +

Menelan + +

N XI (Asesorius)

Memalingkan kepala + +

Sikap bahu simetris simetris

Mengangkat bahu simetris simetris

Trofi otot bahu eutrofi eutrofi

N XII (Hipoglosus)

Sikap lidah N N

Artikulasi + +

Tremor lidah - -

Menjulurkan lidah + +

Trofi otot lidah eutrofi eutrofi

Fasikulasi lidah - -

Meningeal Sign (-)

Anggota Gerak

B B 5 5 N N E E

B B 3 3 N N A A

N N - - - - -

N N - - -

Sensibilitas : parahipestesi inferior setinggi medulla spinalis segmen L2-S2

PENYAKIT DEGENERATIF MEDULA SPINALIS

Penyakit degeneratif adalah istilah yang secara medis digunakan untuk menerangkan adanya suatu proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang diketahui, yaitu dari keadaan normal sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. Penyebab penyakit sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok penyakit yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sedikit terjadi pada salah satu anggota keluarga (faktor familial) sehingga sering disebut penyakit heredodegeneratif. Cowers tahun 1902 menekankan adanya istilah abiotrophy untuk penyakit seperti tersebut di atas yang artinya menunjukkan adanya penurunan daya tahan sel neuron dan mengakibatkan kematian dini. Konsep di atas mewujudkan hipotesa bahwa proses penuaan (usia) dan penyakit degeneratif dari sel mempunyai proses dasar yang sama. Ada beberapa penyakit yang dahulu dimasukkan ke dalam penyakit degeneratif, tetapi sekarang diketahui mempunyai suatu dasar gangguan metabolik, toksik dan nutrisi (defisiensi zat tertentu) atau disebabkan suatu slow virus. Dengan berkembangnya ilmu, memang banyak penyakit yang dulu penyebabnya tidak diketahui akhirnya diketahui sehingga tidak termasuk penyakit degeneratif. Sedangkan penyakit yang penyebabnya tidak diketahui dan mempunyai kesamaan dimana terdapat disintegrasi yang berjalan progresif lambat dari sistem susunan saraf dimasukkan ke dalam golongan ini. Istilah yang agak membingungkan yaitu pemakaian yang tidak konsisten dari istilah atrofi dan degeneratif, dua istilah ini digunakan pada penyakit degeneratif. Spatz mengatakan bahwa gambarannya secara histopatologis berbeda. Atrofi gambaran khasnya berupa proses pembusukan dan hilangnya neuron dan tidak dijumpai produk degeneratif, hanya jarak antar sel yang melebar dan terjadi fibrous gliosis. Degeneratif menunjukkan proses yang lebih cepat dari kerusakan neuron, mielin dan jaringan dengan akibat timbulnya produk-produk degeneratif dan reaksi fagositosis yang hebat dan gliosis selular. Jadi perbedaan atrofi dan proses degeneratif yaitu pada kecepatan terjadinya dan tipe kerusakannya. Banyak penyakit yang merupakan proses degeneratif ternyata diketahui kemudian penyebabnya adalah proses metabolik. Tetapi ternyata pada kejadian atrofi, ada beberapa yang dasarnya adalah gangguan metabolik juga.

Gambaran klinis umum penyakit degeneratif:

1. Perjalanan penyakit lambat, setelah waktu yang lama dari fungsi saraf yang normal, kemudian diikuti kemunduran fungsi susunan saraf tertentu yang bersifat progresif lambat yang dapat berlanjut sampai beberapa tahun atau puluhan tahun. Pasien sulit menentukan kapan penyakit mulai timbul. Adanya riwayat kejadian yang dapat mempresipitasi terjadinya penyakit degeneratif, misalnya kecelakaan, infeksi atau kejadian lain yang diingat sebagai penyakit.

2. Kejadian penyakit yang sama dalam keluarga (bersifat familial)

3. Pada umumnya penyakit degeneratif pada sistem saraf akan terjadi terus menerus, tidak dapat diperbaiki oleh tindakan medis atau bedah, kadangkadang penyakit ini ditandai dengan periode yang stabil untuk beberapa lama. Beberapa gejala dapat dikurangi dengan penatalaksanaan yang baik, tetapi penyakitnya sendiri tetap progresif.

4. Bilateral simetris. Meskipun kadang-kadang misalnya pada Amyotrophic lateral skelerosis mula-mula hanya mengenai satu anggota gerak atau salah satu sisi tubuh, tapi dalam proses selanjutnya menjadi simetris.

5. Hanya mengenai daerah anatomis/fisiologi susunan saraf pusat secara selektif. Misalnya ALS yang termasuk dalam Motor Neuron Disease yang terkena adalah motor neuron di kortek serebral, batang otak dan medula spinalis dan terjadi ataksia yang progresif dimana hanya sel purkinye yang terkena.

6. Secara histologis bukan hanya sel-sel neuron saja yang hilang tapi juga dendrit, axon, selubung mielin yang tidak berhubungan dengan reaksi jaringan dan respon selular.

7. Pada likuor serebrospinalis kadang-kadang terdapat sedikit peningkatan protein, tetapi pada umumnya tidak menunjukkan kelainan yang berarti.

8. Karena menyebabkan kehilangan jaringan secara radiologis terdapat pengecilan volume disertai perluasan ruang likuor serebrospinalis. Permeabilitas sawar darah otak tidak berubah.

9. Laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain sering memberikan hasil yang negatif. Berbeda dengan penyakit susunan saraf pusat progresif lain seperti tumor, infeksi, proses inflamasi lain.

10. Pemeriksaan neuroimaging dapat menunjukkan kelainan tertentu, sehingga dapat membantu menyingkirkan golongan penyakit lain. Lesi pada medula spinalis termasuk proses degeneratif akan memberikan gejala suatu lesi intrameduler karena proses degeneratif memang terjadi pada medula spinalis secara selektif.

Gambaran klinis lesi medula spinalis:

1. Mielopati transversa dimana sekuruh jaras asenden dan desenden terkena. Sehingga terjadi gangguan motorik, sensorik dan vegetatif yang luas. Penyebab yang tersering adalah trauma, tumor, multiple sklerosis, dan penyakit pembuluh darah. Penyebab lainnya hematom epidural, abses, hernia diskus intervertebralis, sindroma parainfeksi dan post vaksinasi.

2. Lesi yang mengenai bagian sentral medula spinalis. Contohnya syringomieli, hydromieli, tumor intramedular. Medula spinalis dapat terganggu mulai dari sentral kemudian meluas ke struktur lain dari medula spinalis. Gambaran khasnya dalah suatu disosiasi sensibilitas. Dengan berjalannya penyakit bagian anterior dapat terkena pada tingkat lesinya dan mengakibatkan atrofi neurogenik sentral, parese dan arefleksia. Perluasan ke lateral dapat menyebabkan sindrome Horner’s ipsilateral (bila mengenai pusat siliospinal pada lesi di C8-T2), kiposkoliosis (bila mengenai nukleus motorik dari dorsomedian dan ventromedian yang mempersarafi otot para spinal), paralisa spastik di bawah lesi bila traktus kortikospinalis terkena. Perluasan ke dorsal 3 akan mengakibatkan putusnya jaras dorsalis (untuk sensasi posisi dan rasa getar ipsilateral) dan dengan terkenanya juga daerah ventrolateral akan menyebabkan gangguan suhu dan nyeri pada medula spinalis di bawah lesi. Karena secara laminasi traktus spinothalamikus sensasi servikal terletak dorsomedial dan sensasi sakral terletak ventrolateral, pada lesi intraparenkimal dapat terjadi sensasi sakral tidak terkena.

3. Lesi di kolumna posterolateral. Dapat terjadi secara selektif pada penyakit Subacute combine degeneration pada defisiensi Vitamin B12 mielopati vakuolar oleh sebab AIDS, servikal spondylosis. Terjadi gangguan proprioseptif dan sensasi vibrarsi pada tungkai sebagai ataksia sensorik. Ganguan traktus kortikospinal bilateral akan mengakibatkan spasitisitas, hiperreflesi, dan refleks ekstensor bilateral. Akan tetapi reflek dapat negatif atau menurun bila disertai neuropati perifer

4. Lesi di kolumna posterior, sering terjadi pada penyakit Tabes dorsalis (neurosyphillis). Terjadi gangguan sensasi vibrasi dan posisi dan penurunan rasa raba, juga mengakibatkan ambang sensasi mekanik, taktil, postural, halusinasi, arah gerak dan posisi, sehingga akan timbul staksia sensorik dan Romberg yang positif. Cara berjalan yang ataksik. Pasien mengeluh nyeri ‘lancinating’ terutama tungkai. Dapat terjadi inkontinens urine, reflek KPR dan APR yang negatif. Terdapat Lhermitte’s sign yang disebabkan peningkatan sensitifitas mekanik pada kolumna dorsalis dimana fleksi leher akan mengakibatkan peningkatan secara spontan unit-unit sensoris yang aktif dan ikut sertanya serabut saraf yang lain.

5. Lesi di kornu anterior. Penyakit yang menyerang secara difus kornu anterior misalnya adalah spinal muskular atrofi (misalnya infantile spinal muscular atrophy in motor neuron disease). Bila bagian kornu anterior terkena secara difus terjadi kelemahan secara difus, atrofi, fasikulasi terjadi pada otot batang tubuh dan ekstremitas. Tonus otot menurun dan ketegangan otot dapat menurun atau hilang. Gangguan sensorik tidak terjadi karena jaras sensorik tidak terkena.

6. Kombinasi lesi di kornu anterior dantraktus piramidalis. Hal ini secara karakteristik terjadi pada Amyotrophic lateral sclerosis. Terjadi gangguan secara difus dari lower motor neuron (progressive muscular atrophy, parese, fasikulasi) yang bersamaan dengan gejala lesi UMN (parese, spastisitas, reflek plantar ekstensor). Tidak ada gangguan sphincter urine dan rektal tidak ada.

Klassifikasi penyakit degeneratif yang mengenai medula spinalis:

I. Syndrome progressive dementia in combination with other neurologic abnormalities.

A. Cortical spinal degeneration (Jakob) and the Dementia-ParkinsonAmytrophic lateral sclerosis complex (gumanian and others)

B. Familial dementia with spastic paraparesis

II. Syndrome of progressive ataxia

A. Predominantly spinal forms of hereditary ataxia.

1. Friedreich ataxia

2. Strumpell-Lorrain

III. Syndorme of slowly developing muscular weakness and atrophy (nuclear amiotrophy). Without sensory changes:

1. Amytrophic lateral sclerosis

2. Progressive spinal muscular atrophy

3. Progressive bulbar palsy

4. Primary Lateral sclerosis

5. Heriditary forms of progressive muscular atrophy and spastic paraplegia

Corticostriatospinal degeneration (Parkinson-Dementia) and Amytrophic lateral sclerosis complex.

Merupakan penyakit kronik yang mengenai pertengahan dan akhir masa dewasa dan secara klinis gambarannya adanya gangguan intelek dan tingkah laku, kelemahan, ataksia, spastisitas anggota gerak dan gejala ekstrapiramidal: rigiditas, gerakan jadi lambat, tremor, postur athetotic, disartri, likuorserebrospinalis normal.

Lesi terdapat difus dan terutama terdapat pada neuron terluar di frontal, temporal dan girus motorik sentralis, korpus striatum, thalamus ventral, nukleus motorik batang otak. Pada salah satu dari kasus Jakob perubahan terutama terjadi pada kornu anterior dan traktus kortikospinalis dari medula spinalis seperti ALS. Penemuan tersebut menjadikan konsep penyakit ini adalah suatu proses degeneratif pada kortikospinalis dan sering merupakan penyakit yang terjadi dalam hubungan keluarga sehingga disebut Creutzfeldt-Jakob disease.

Pasien akan mengalami rigiditas yang hebat, tanda piramidal, ALS yang berkembang dalam beberapa tahun. Pada stadium akhir dari penyakit biasanya pasien sadar, tetapi selalu harus dibantu dalam mengerjakan sesuatu, pasien tidak dapat bicara, menelan dan menggerakkan anggota tubuh dan hanya dapat menggerakkan bola mata. Fungsi intelek kurang terganggu dibanding motorik. Penyakit berlangsung progresif dan berakhir fatal dalam 5 – 10 tahun.

Familial dementia with spastic paraparesis

Sering terjadi dengan pada anggota keluarga yang sama pada usia pertengahan, dimana terjadi paraparese spastik dengan gangguan intelek secara gradual. Kapasitas mental pasien berkurang secara gradual dan kapasitas untuk berpikir tingkat tinggi terganggu. Timbul reflek tendo yang meningkat, klonus, babinski. Berbeda dengan tipe yang dominan, tipe yang diturunkan secara resesif sering mengenai lebih banyak sistem saraf dan menimbulkan demnetia, ataksia serebeller dan epilepsi. Gambaran patologi: selain plak senile, dan perubahan neurofibrillary, terdapat demielinisasi pada masa putih subkortikal dan korpus kalosum, area yang bercak-bercak tapi meluas dari pembengkakan arteriol, yang dengan pewarnaan menunjukkan suatu amyloid. Familial spastic paraplegia dapat juga disertai ataksia cerebellar yang progresif dimana terjadi pula degenerasi spinocerebellar.

Ataksia Friedreich

Adam memasukkan pula sindrome ataksia yang progresif yaitu ataksia herediter dengan predominan pada medula spinalis. Penyakit yang termasuk di sini adalah Ataksia Friedreich. Penyakit ini menurun secara resesif dengan perubahan patologis dominan pada kolomna posterior, traktus spinoserebellaris, dan traktus kortikospinalis. Gejala umumnya timbul pada usia muda, 50% terdapat pada usia kurang dari 10 tahun. Penyakit ini berjalan secara progresif dan biasanya setelah 5 tahun pasien tak dapat berjalan lagi. Laki-laki lebih sering terkena dari pada wanita. Rata-rata usia kematian adalah 26,5 pada penyakit yang diturunkan secara resesif, dan 39,5 tahun pada penyakit yang diturunkan secara dominan.

Gejala klinis:

1. Terjadi ataksia sensorik maupun serebeller, terjadi inkoordinasi dari kedua tungkai bawah. Mula-mula pasien sulit berdiri cepat dan berlari, kemudian timbul kelelahan, nyeri pada tungkai, kaku setelah latihan berat. Dapat terjadi kelemahan pada tangan setelah gangguan berjalan, kemudian bicara jadi rero, lambat, tidak jelas dan eksposif, lengan jadi ataksik dan dapat disertai intensio tremor. Akhirnya bicara, bernafas, menelan dan tertawa jadi tak terkoordinasi.

2. Rasa getar dan posisi dapat terganggu selanjutnya rasa raba, suhu dan nyeri terganggu. Romberg positif

3. Reflek tendo kedua tungkai ini menghilang akibat terputusnya jaras sensorik dari lengkung reflek

4. Refleks Babinski +

5. Sering terjadi deformitas pada kaki. Terjadi pes cavus dengan arkus plantar yang tinggidan terjadi retraksi pada sensi jari dan fleksi sendi interphlalang

6. Nystagmus + (biasanya horisontal)

7. Peningkatan reflek rahang

8. Dapat disertai ketulian, vertigo, otik atrofi, kardiopati (pada setengah kasus). Gejala tersebut mirip dengan penyakit degenerasi spinocerebeller yang herediter, tetapi biasanya pada penyakit ini reflek meningkat.

Gambaran patologi

Medula spinalis tampak mengecil, kolumna posterior, traktus kortikospinalis, dan spinocerebeller mengandung jaringan medula dan terdapat gliosis fibrosis. Sel saraf pada kolumna Clarks dan sel saraf yang panjang dari ganglia rasiks dorsalis terutama daerah lumbosakral berkurang. Sel Betz berkurang tetapi traktus kortikospinalis relatif tak terganggu. Terdapat pengurangan sel-sel saraf pada sarah otak VIII, X, XII. Hilangnya sel saraf tingkat ringan sampai sedang juga terjadi pada nukleus dentatus dan pedunkulus sereblaris superior. Penyusutan sel Purkinye di vermis superior dan neuron-neuron yang berhubungan dengan nukleus olivari inferior. Otot miokardial juga mengalami degenerasi dan diganti oleh mippag dan fibroblas.

Therapi: Therapi trial dengan Physostigmin tablet 60 mg/hari, Thyrotropin releasing hormon, choline chloride, lecithin, 5 hidroksi triptophan dan benserazide tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Strumpell Lorrain yaitu bentuk familial spastic paraplegia disertai dengan atrofi optik dan spastisitas yang berat.

Motor system disease.

Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kelainan degeneratif pada medula spinalis, batang otak, korteks motorik, yang secara klinis ditandai dengan kelemahan otot, atrofi, tanda traktus kortikospinalis pada beberapa variasi kombinasi. Penyakit mengenai usia pertengahan dan hampir semuanya kematian terjadi dalam 2 – 6 tahun atau lebih tergantung kasusnya.

Amytrophic lateral sclerosis

Adalah penyakit degeneratif yang progresif akibat degenerasi motor neuron di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan korteks serebri, dengan manifestasi berupa kelemahan dan atrofi dari otot-otot yang dipersarafi, disertai tanda-tanda gangguan (degenerasi) traktus kortikospinalis dan beberapa variasi lainnya. Biasanya tanpa atau hanya sedikit gangguan sensibilitas atau serabut non motor lainnya.

Etiologi diketahui pasti, ada dugaan penyebabya adalah suatu infeksi virus (misalnya polio virus latent), toksin dari lingkungan (Beta methyl amino L alanine), faktor genetik, ada hubungannya dengan lymphoma, logam berat (Pb, Mn, Co, Fe, Zn, Hg), trauma, gangguan pada DNA, imunologi, gangguan metabolisme glutamat. Angka kejadian diperkirakan antara 0,4-1,4 kasus tiap 100.000 populasi dengan rata-rata menyerang dekade ke IV, V, VI, VII. Jarang pada usia kurang dari 35 tahun. Perbandingan laki-laki dan wanita berkisar antara 1,1:1 sampai 2:1. Lebih banyak mengenai kulit putih dibandingkan kulit hitam.

Secara klinis ALS dibagi dalam beberapa tipe yaitu:

1. Progressive muscular atrophy Pada tipe ini terjadi proses degeneratif dari motorneuron di kornu anterior medula spinalis dengan manifestasi klinis kelemahan dan atrofi otot-otot badan dan anggota gerak yang terlihat pada stadium awal dari penyakitnya. Lesi yang terjadi biasanya mulai dari daerah servikal medula spinalis, dengan kelemahan, atrofi dan fasikulasi otot-otot intrinsik tangan, walaupun bisa juga dimulai di sembarang tempat di kornu anterior medula spinalis. Sebagai gejala awal bisa juga dimulai dengan kelemahan dan atrofi otot-otot kaki dan paha, sedang otototot ekstremitas atas masih baik. Kasus yang jarang, kelemahan dimulai dari pada lengan bagian proksimal yang kemudian meluas ke distal. Pada tipe ini traktus kortikospinalis tidak terkena, sehingga reflek tendo menurun atau negatif. Fasikulasi otot bervariasi antara ada dan tidak. Perbandingan antara pria : wanita yaitu 3,6 ; 1. Five years survival rate 72% bila onset kurang dari 50 tahun dan bila 40% bila onset lebih dari 50 tahun.

2. Progressive bulbar palsy

Adalah tipe ALS dimana terjadi proses degeneratif pada inti-inti saraf otak di batang otak, terutama bagian bawah. Manifestasi klinis: • Kelemahan dan atrofi dari otot-otot faring, lidah dan wajah. Pada stadium awal akan memberikan gejala atau kesukaran untuk mengucapkan t,n,r,l b,m,p,f, dan k,g, yang akhirnya suara penderita menjadi tidak dipahami. Bicara sulit juga disebabkan karena spastisitas dari lidah, pharing dan laring yang kemudian diikuti kelemahan atrofi. • Reflek pharing menghilang dan gerakan palatum serta pita suara tidak sempurna waktu sedang bicara. Terdapat gangguan mengunyah, menelan, otot-otot paring tidak bisa mendorong makanan masuk ke oesophagus, sehingga air dan makanan akan masuk ke trakhea atau kembali lagi ke hidung. Dapat terlihat fasikulasi lidah dan jaw jerk yang positif.

3. Primary lateral sclerosis

Tipe ini sangat jarang. Proses degeneratif yang terjadi di korteks cerebri pada area Broadman’s 4 dan 6, dan terlihat proses degeneratif sekunder pada traktus kortikospinalis.

Gejala yang timbul berupa:

• Kelemahan dan spastisitas dari otot-otot badan dan anggota gerak, biasnya dimulai pada ekstremitas bawah

• Tidak dijumpai atrofi dan fasikulasi

• Reflek regang yang meningkat dan reflek plantar ekstensor bilateral • Hilangnya reflek superfisial tetapi tidak ada gangguan sensoris.

4. Tipe campuran Sering dijumpai dengan gambaran klinis merupakan kombinasi dari bentuk 1,2,3. Pada pemeriksaan didapatkan adanya atrofi, fasikulasi, kelemahan anggota gerak bawah, atas, peningkatan reflek tendon dan ekstensor plantar positif bilateral. Selanjutnya bila inti batang otak terkena akan menyebabkan disfagi disartri dan kelemahan otot wajah, tidak terdapat gangguan sensorik.

5. Spinal monomelic amyotrophic

Didapatkan adanya unilateral amyotrophic yang terbatas pada 1 anggota gerak.

Kriteria ALS menurut El Escorial:

Diagnosis ALS memerlukan tanda-tanda:

1. Tanda LMN

2. Tanda UMN

3. Terdapat progresifitas dari penyakit

Subklasifikasi untuk kriteria diagnostik:

• Definite ALS: UMN + LMN dengan 3 regio* seperti ALS yang tipikal

• Probable ALS: UMN + LMN dengan 2 regio dengan tanda UMN dan tanda LMN

• Possible ALS: UMN + tanda LMN dengan 1 regio atau tanda UMN dengan 2 atau 3 regio, seperti monomelic ALS, Progressive bulbar palsy, dan Primary lateral sclerosis.

• Suspected ALS: LMN dengan 2 atau 3 regio seperti progressive muscular atrophy atau sindroma motorik lain.

*Regio termasuk: batang otak, brachial, thoraks, trunk, crural.

Patologi: Gambaran patologi dasar dari ALS yang telah lama dikenal adalah sebagai berikut:

• Hilangnya motor neuron di kornu anterior medula spinalis dan batang otak

• Hilangnya sel Betz pada korteks serebri dan degenerasi pada traktus kortikospinalis.

Ditemukan hilangnya sel saraf pada kornu anterior medula spinalis. Sisa sel yang bertahan bentuknya kecil dan penuh dengan lipofuchsin. Hilangnya sel diganti dengan jaringan fibrosit dari astrosit. Sel saraf yang besar dan panjang terkena lebih dahulu dari yang berukuran lebih kecil. Radiks anterior menjadi kecil dan kehilangan serabut bermielinisasi besar pada saraf motorik. Otot-otot memperlihatkan gambaran atrofi karena denervasi pada berbagai stadium. Whitehouse et all menemukan berkurangnya reseptor muskarinik, kolinergik, glisinergik, benzodiazepam pada medula spinalis dimana terjadi proses degenerasi pada motor neuronnya. Degenerasi pada traktus kortikospinalis lebih sering terjadi pada bagian bawah medula spinalis. Dengan pewarnaan lemak terlihat akumulasi makrofag sebagai respon adanya degenerasi mielin. Terdapat hilangnya sel Betz di kortek motorik. Serabut pada funikuli ventral dan lateral berkurang, mengakibatkan gambaran yang pucat pada pewarnaan mielin. Mc-Menemey menginterpretasikan bila mengenai juga bagian non-motor neuron disebut sebagai motor system disease. Tetapi peneliti lain menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan hilangnya kolateral dari motor neuron pada lamina propria. Pada ALS dengan demensia terdapat kehilangan neuron yang luas dan gliosis di premotor area terutama girus superior frontal dan korteks inferolateral dari lobus temporal.

Diagnostik:

Harus disingkirkan penyakit lainnya melalui pemeriksaan penunjang:

1. EMG: menunjukkan adanya fibrilasi, fasikulasi, atrofi dan denervasi, KHST normal, kadang-kadang dijumpai adanya giant action potential

2. Biopsi otot: terdapat atrofi dari fasikulus otot bercampur dengan fasikulus yang normal

3. Peningkatan enzim otot

4. LP: LCS normal

5. Mielografi: normal

6. MRI: terdapat peningkatan intensitas signal

Penanganan ALS:

Karena sampai sekarang etiologi masih belum jelas, belum ada pengobatan yang tepat. Penanganan yang dapat dilakukan adalah terapi konservatif dan fisioterapi.

Prognosa:

Pasien dapat hidup 10-15 tahun dari awitan. Bila terdapat gangguan pada otot-otot untuk menelan prognosanya lebih jelek.

Heredofamilial forms of progressive muscular atrophy and spastic parpaplegia Wednig Hoffman Disease (Infantile progressive spinal muscular atrophy)

Merupakan bentuk klasik dari spinal muskular atrofi tipe herediter (Tipe I). SMA ini ditandai dengan kelemahan akibat terkenanya seluruh otot sebelum usia 3 tahun. Diturunkan secara autosomal resesif, insiden 1:20.000 kelahiran hidup, dan 1/3 kasus sudah terlihat pada saat lahir karena kurangnya aktifitas dan adanya deformitas. 95% dari kasus onset dimulai sebelum usia 4 bulan. Kelemahan umum, hipotoni, sukar makan adalah gejala utama. Bila terdapat kesusahan bernapas merupakan gejala fatal. Pasien ini umumnya bertahan sampai 6 bulan sesudah onset dan 95% meninggal pada usia 18 bulan. Fasikulasi terlihat jelas pada lidah atau tempat lain maupun pada pemeriksaan EMG. Secara patologis didapat kerusakan motor neuron yang berat tetapi sel tetap ada, yang terjadi adalah pembesaran sel dan kromatolisis, atrofi radiks motorik sedang radiks sensorik normal. Pada otot skeletal terjadi denervasi yang berat dan hampir merata.

Spinal muscular atrophy type II (infantil kronik/late infantil)

Onset relatif lambat dibanding tipe I, umumnya muncul sebelum usia 2 tahun. Gambaran klinis: terjadinya kelemahan otot. Kira-kira 25% bayi dapat duduk tanpa dibantu dan dapat belajar berjalan. Fasikulasi dan atrofi lidah positif tapi fasikulasi tak ditemui pada anggota gerak. Reflek tendon menghilang. Progresifitas lambat usia harapan hidup bervariasi dari 14-30 tahun. Skoliosis terjadi pada pasien yang tidak difisioterapi, lebih lanjut terjadi gangguan respirasi, adanya deformitas akan memperburuk keadaan.

Chronic proximal spinal muscular atrophy (PSMA, Wohlfart-Kugelberg-Welander Syndorme)

Gangguan mengenai otot proksimal dari anggota gerak dan berkembang sangat lambat. Sepertiga kasus terjadi sebelum usia 2 tahun dan 50% antara 3-18 tahun. Laki-laki lebih sering terkena, terutama pada usia remaja dan tua. Bentuk ini diturunkan pada gen autosom resesif dan sexlinked. Kelemahan dan atrofi biasanya terjadi secara lambat dimulai digelang panggul dan otot proksimal lengan. Biasanya simetris sejak awal penyakit. Fasikulasi dijumpai pada setengah dari status. Bila bagian distal dari anggota gerak terkena maka reflek tendon hilang, otot bulbar dan traktus kortikospinalis tidak terkena, meskipun Babinski dapat muncul dan berhubungan dengan ophthalmoplegia. Pada EMG dapat ditemukan fasikulasi spontan dan denerval khronis, pada biopsi otot ditemukan atrofi neural dan hipertrofi serabut dan hilangnya dan proses degenratif pada kornu anterior. Pada pemeriksaan enzim didapatkan enzim CPK yang meninggi.

Bentuk fokal penyakit ini:

1. Scapulohumeral. Biasanya jinak tetapi dapat berkembang dengan cepat. Pada orang dewasa kematian terjadi dalam 3 tahun oleh karena respiratory failure.

2. Scapuloperoneal. Bentuk ini terdapat pada dewasa muda dan dewasa. Atrofi melibatkan otot scapula dan pariscapula dan bagian anterior dari tungkai.

3. Miopati okuler. Otot yang terkena adalah otot wajah dan okuler (biasanya hanya satu otot yang terkena), terdapat pada anak dan dewasa

4. Fazio Londe. Bentuk yang paling progresif, dimulai dari usia dini, atrofi otot yang meliputi neuron motorik bulbar sehingga terjadi kelemahan otot okuler, wajah, faring. Kematian biasanya karena respiratory faulure.

Hereditary spatic paraplegia or diplegia

Penyakit diturunkan secara otosomal dominan, jarang resesif dan onset dapat dimulai sejak masa kanak-kanak sampai orang tua.

Gambaran klinis:

• Timbulnya keleahan yang bersifat spastik secara gradual pada tungkai yang mengakibatkan kesukaran berjalan

• Reflek tendon yang meningkat dengan reflek plantar ekstensor

• Sensorik dan fungsi saraf lain normal. Bila terjadi mulai kanak-kanak, kaki jadi melengkung dan memendek dan terdapat pseudokontraktur dari otot betis, mengakibatkan jalannya menggunakan ujung jari-jari. Kadang-kadang lutut tampak fleksi ringan dan lengan ekstensi serta adduksi

• Otot lengan terkena dalam berbagai tingkatan. Tangan jadi kaku, lemah, bicara disartri

• Fungsi sphincter tak terganggu

• Sering bersamaan dengan nistagmus, kelemahan saraf otak, optik atrofi, degenerasi makular pigmentasi, ataksia, epilepsi, dementia

• Gambaran patologi menunjukkan degenerasi dari traktus kortikospinalis, penipisan dari kolumna Goll, terutama regio lumbal dan traktus spinocerebellaris. Dilaporkan juga terdapat berkurangnya sel Betz di kornu anterior.

Variants of familial spastic paraplegia

1. Hereditary spastic paraplegia with spinocerebellar and ocular synptoms. Terjadi gangguan gaze. Manifestasi ataksia spinocerebellar dimulai pada dekade 4 dan 5 dimana terjadi kelemahan tungkai, perubahan mood, tertawa dan menangis yang patologik, disartri dan diplopia, disetesia anggota gerak, dan terganggunya kontrol kandung kencing. Reflek tendon positif dengan bilateral babinski. Gangguan sensorik dimulai pada ujung distal ekstremitas

2. Hereditary spastic paraplegia with ekstrapiramidal symptoms. Terdapat tremor saat istirahat dan bekerja, rigiditas parkinson, gerakan lidah yang distonia dan gerakan athetoid dari anggota gerak.

3. Hereditary spastic paraplegia with optic atrophy (Behr syndrome)

4. Hereditary spastic paraplegia with retinal degeneration. (Kjellin syndrome). Paraplegi spastik dengan amiotrophy, oligophrenia dan degenerasi retina sentral. Bila terdapat ophtalmoplegi disebut Barnard Scholz syndrome

5. Hereditary spastic paraplegia with mental retardation or dementia

6. Hereditary spastic paraplegia with polyneuropathy

Penyakit yang oleh De Jong juga dimasukkan dalam penyakit degeneratif yaitu:

1. Tabes dorsalis

Penyakit ini merupakan suatu bentuk neurosiphilis yang secara patologis ditandai dengan terjadinya degenerasi pada radiks posterior dan kolumna dorsalis medula spinalis. Keadaan ini merupakan 1,3 – 5% dari penderita neurosiphilis.

Gejala klinis timbul sesudah lebih dari 10 sampai 20 tahun infeksi primer, sehingga umumnya penderita Tabes dorsalis berumur 40-60 tahun.

Gejala klinis:

• Hilangnya sensasi proprioseptif mengakibatkan ataksia sensoris (sekunder terhadap kerusakan funikulus dorsalis)

• Terkenanya radiks posterior dan ganglion dorsalis menyebabkan nyeri radiks, rasa terikat, penurunan reflek dan terlambatnya reaksi nyeri

• Dapat terjadi gangguan fungsi kandung kemih tipe atonik, inkontinentia alvi, impotens, gangguan tropik dengan akibat timbulnya lesi ulseratif dan atropati tip charchot.

2. Multipel sklerosis

Merupakan penyakit yang dapat menyerang secara luas sistem saraf pusat danbelum diketahui dengan jelas sebabnya. Penyakit ini ditandai dengan bercak-bercak demielinisasi yang tersebar terutamapada masa putih. Bercak ini pada tingkat lanjut berupa bercak sklerotik yang tersebar perivaskuler. Angka kejadian sklerosis ditemukan sangat tinggi di Eropa Barat, dapat mencapai 80/100.000 penduduk. Umumnya serangan pertama terjadi pada umur muda 20-40 tahun, kadang-kadang umur 12-15 tahun. Laki-laki lebih sering dari wanita. Keadaan ini pada 60-90% penderita diikuti gejala remisis dan relaps.

Gejala klinis:

• Neuromielitis optika, selain adanya neuritis optika (biasanya unilateral 45%) juga disertai adanya mielopati yang progresif disertai nyeri dan parestesi

• Terdapat 3 bentuk spinal dari multipel sklerosis:

1. Bentuk spinal dengan gejala paraplegia spastik yang progresif

2. Bentuk dengan lesi spinal unilateral sehingga gejala klinis dapat berupa gejala brownn sequard yang parsial

3. Bentuk sakral. Bercak lesi terdapat di konus sehingga terdapat gejala konus. Lesi medula spinalis dapat berupa mielitis tranversa atau ascending

• Gejala motorik umumnya terdapat kelemahan otot tanpa atrofi (spastik parese), bila ditemukan atrofi umumnya hanya pada otot kecil tangan.

• Reflek regang meningkat, hilangnya reflek superfisial, gangguan piramidal disertai gangguan proprioseptif dan ataksi sensorik.

• Gejala Lhermitte yang positif danbermacam gejala sensibilitas

• Kontrol spincter sering terganggu

• Pada 70% penderita terdapat gejala nistagmus, tremor intension dan bicara meletup-letup dan disebut sindroma charcot.

Gambaran patologi: terjadi gliosis dan demielinisasi pada fasikulus grasilis dan juga atrofi dari ganglion. Terjadi perivascular lymphocytic cuffing dan dapat terjadi iskemi sekunder yang menyebabkan gangguan proprioseptif dan kelemahan yang progresif dari ekstremitas bawah.

3. Posterolateral sklerosis

Ditandai dengan perubahan patologis yang mengenai terutama kolumna lateral (jaras piramidal) dan funikulus posterior. Gambaran klinis ditandai dengan kelemahan dan hiperrefleksi akibat terganggunya traktus piramidalis, hilangnya sensasi propioseptif dengan ataksia sensoris, dapat terjadi gangguan otonomik dari kandung kencing dan rektum dan impotensi. Penyakit tersebut diatas sering berhubungan dengan anemi pernisiosa, gangguan defisiensi lain seperti pellagra, DM, ketuaan, multipel sklerosis. Contoh penyakit yang terkenal adalah subacute combined degeneration dan Mieloneuropati tropika (yang terdiri atas tropikal ataksi neuropati dan tropikal spastik paraparese)

a. Subacute combined degeneration

Terjadi pada ± 16% pasien dengan defisiensi vitamin B12. Patologi: Kekurangan vitamin B12 akan mengganggu melalui siklus Krebs sehingga terbentuk asam lemak yang tidak normal dan mengganggu pembentukan mielin.

Gejala klinis:

• Parestesi dimulai dari bagian distal ke proksimal dengan distribusi simetris pada keempat anggota gerak

• Terdapat parese yang spastik akibat gangguan traktus kortikospinalis

• Reflek tendon bisa menurun atau meningkat, reflek patologis positif (50%)

• Dapat terjadi disfungsi kandung kemih, gangguan mental dan visual

b. Mieloneuropati tropikal

Dibagi atas 2 grup:

1) Tropikal ataksi neuropati dengan gejala utama sensori ataksia

2) Tropikal spastik paraparese dengan predominan spastik paraplegi dengan minimal defisit neurologi Etilogi mieloneuropati tropika: defisiensi Vitamin B12, keracunan cassava, viral, pemakaian daun Lathyrus.

1. Tropikal ataksi neuropati

Faktor predisposisi adalah kehamilan, laktasi, penyakit malnutrisi. Gejala klinis dimulai dengan parestesi bagian distal tungkai, disertai baal, gangguan sensorik pada kolumna posterior, perubahan tonus otot, gait ataksia, bilateral optik atrofi (hilangnya visus), tuli perseptif dan gejala LMN.

2. Tropikal spastik paraparese

Gangguan terutama adalah terkenanya traktus piramidalis dan dapat pula mengenai kolumna posterior. Predominan dapat mengenai lumbal mengakibatkan gangguan berjalan, jalan jadi lemah dan kaku, lebih dari setengahnya asimetris, hiperrefleksi dan babinski bilateral. Perjalanan penyakit berlangsung subakut sampai kronis. Dapat timbul defisit sensorik terutama nyeri dan suhu dengan segmental tidak jelas. Menurut penelitian dapat terjadi pada infeksi Human-TLimphotropic Virus Tipe I dan terjadi mielopati yang bersifat khronis progresif. Angka kejadian yaitu 1/250 penderita HTLV-1. Gambaran patologi: terjadi degenerasi dan demielinisasi yang mengenai traktus piramidalis, dpinicerebeller, spinothlamikus. Terjadi penebalan hyelinoid dari tunika adventitta dan media pembuluh darah otak, medula spinalis dan ruang subrahnois dimana pembuluh darah tampak dikelilingi lekosit, astrosit gliosis dan makrofag dan terjadi vakuolisasi di pinggir dari lesi.

3. Siringomieli

Merupakan suatu penyakit dimana terjadi perubahan patologik yang terdiri dari gliosis, nekrosis dan kavitasi pada bagian sentral medula spinalis dan sering meluas ke medula ( siringobulbi). Sering terjadi dengan kelainan perkembangan dan gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan insufisiensi vaskuler pada area yang terkena. Dapat terjadi pada trauma, kompresi, lesi ekstrameduler, post infeksi yang dapat dibedakan dari siringomieli. Degenerasi terjadi pada pelebaran servikal dan dimulai paad regio ireguler.

Kanalnya sendiri tidak selalu ikut dengan proses. Onset dapat terjadi pada usia 25-40 tahun, dapat terjadi beberapa bulan sampai 20 tahun sesudah terjadinya trauma, 15 tahun setelah arakhnoiditid TBC.

Gejala klinis:

• Dengan terkenanya jaras dekusatio sensorik gambaran utamanya adalah hilangnya rasa nyeri dan suhu pada dermatom tersebut sedangkan rasa raba masih baik.

• Bila proses sudah mengenai bagian kornu anterior akan terjadi parese fokal, atrofi dan fasikulasi juga terganggunya kolumna intermedilateral dengan akibat terganggunya sistem otonom

• Selanjutnya dapat terjadi penekanan jaras kortikospinalis dengan parese tipe UMN dan terputusnya jaras spinotalamikus lateral dengan akibat gangguan tropik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan Laboratorium

|DARAH RUTIN | |Nilai Rujukan |

|Hemoglobin |14.9 |13,5 – 17,5 g/dl |

|Hematokrit |43,9 |40 – 50 % |

|Eritrosit |4.80 |4.5 – 5.8 juta/ul |

|Leukosit |8000 |4000 –10.000/ul |

|Trombosit |192000 |150.000 – 400.000/ul |

|MCV |90,5 |82 – 98 fl |

|MCH |31,0 |≥27 pg |

|MCHC |33,8 |32 – 36 g/dl |

|KIMIA KLINIK | |Nilai rujukan |

|SGOT (AST) |36 | |

|SGPT (ALT) |37 |0-50 U/L |

|Ureum |43 |0-50 U/L |

|Kreatinin |0,75 |10-50 mg/dl |

|Glukosa sewaktu |100 |0,62-1,1 mg/dl |

|Uric Acid |6 |70-100 mg/dL |

| | |2 – 7 mg/dL |

b) X Foto Thoraks Ap (11 Agustus 2015)

Kesan:

• Cor tak membesar

• Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan lain pada pulmo dan tulang yang tervisualisasi

Gambar 1. Foto Thorax AP

c) X Foto Thorakolumbal Ap-Lateral (11 Agustus 2015)

Kesan:

Tak tampak lesi titik maupun sklerotik pada vertebra Thorakolumbal yang tervisualisasi

Gambar 2. Foto Thorakolumbal AP-Lateral

Gambar 3, 4, 5, 6 dan 7. MRI Whole Spine dengan Kontras

d) Pemeriksaan Mri Whole Spine Dengan Kontras (13 Agustus 2015)

Kesan:

• Multiple lesi flow void serpentine intradura ekstramedula pada aspek dorsal dan ventral spinal cord setinggi vertebra cervical 4 sampai lumbal 1 dengan draining vein terlihat pada dorsal dan ventral spinal cord yang disertai penekanan spinal cord setinggi corpus V. Th 11-V.L1 ke arah anterior

← Curiga gambaran type IV Arterio Venosus Fistula

• Bulging pada diskus intervertebralis V.L3-4 dan V.L4-5 disertai penyempitan foramen neuralis kanan kiri

DISKUSI II

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil dalam batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa paralisis, parahipestesia dan paraparese ekstremitas inferior pada pasien bukan diakibatkan dari tumor medulla spinal proses infeksi.

Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler adalah tumor yang terletak intradural-ekstramedular, sedang tumor intramedular jarang menyebabkan nyeri radikuler.

Pada hasil MRI, terlihat seperti massa tumor yang terletak intradural-ekstramedular.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan MRI karena MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang utama untuk mendeteksi kelainan diskus intervertebra. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi medula spinalis dan radiks saraf, juga dapat digunakan untuk mengetahui beratnya perubahan degeneratif pada diskus intervertebra. Dibandingkan dengan CT Scan, MRI memiliki keunggulan, yaitu adanya potongan sagital, dan dapat memberikan gambaran hubungan diskus intervertebra dan radiks saraf yang jelas; sehingga MRI merupakan prosedur skrining yang ideal untuk menyingkirkan diagnosa banding gangguan struktural pada medula spinalis dan radiks saraf.

DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinis : Paralisis, parahipestesia dan paraparese ekstremitas inferior

Diagnosis Topis : Lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2

Diagnosis Etiologis : Tumor medulla spinalis proses kompresi( Susp hemangioblastoma

PENATALAKSANAAN

- Fisioterapi

- Ranitidine tab 2 x 1

- Mecobalamin tab 2 x 500 mg

- Tramadol tab 2 x 100 mg

- Biopsi jaringan tumor

PROGNOSIS

Death : dubia

Disease : dubia

Disability : dubia

Discomfort : dubia

Dissatisfaction : dubia

Distitution : dubia

DISKUSI III

Ranitidin

Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat lain. Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin pada reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.

Mecobalamin (2 x 500 mg)

Bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis Lesitin, suatu komponen utama dari selubung mielin. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel saraf.

Tramadol 2 x 100 mg

Analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga mengeblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif  sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Efektif untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca pembedahan.

 

.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunardi. (2008). Retikulopati . Diperoleh tanggal 28 September 2015 dari .

2. Campbell MJ, Liversade LA. The motor neuron disease, In : John Walton, Disorder of voluntry muscle. 4th ed. New York : Churchil Livingstone, 1981, p. 725-745

3. Sherwood L. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189

4. due-to-vertebral-hemangioma

5.

6. Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.

7. Adam RD, Viktor M. Principle of Neuorology. 4th ed. Singapore : Mac Graw Hill. 1989, p. 746-751

8. Alan, E.H. Emery. Diagnositic criteria for neuromuscular disorders. Netherlands: ENMC, 1994, p. 48-52, 62-69

9. Alister, I. Syringomieli, In : Baker’s clinical neurology vol. 3, revised Ed. Philadelphia : Harper & Row, 1987, Chapter 45.

10. De Jong, The Russel N. de Jong, neurologic examination. 4th ed. Philadelphia: Harper & Row Hangersteron, 1979, p. 589-591

11. Gilroy J. Basic neurology. 3rd ed. New York : Mc Millam. 1975, p. 165-195

12. -----------. Medical neurology. 3rd ed. New York : Mc Millan. 1979, p. 175-228

13. John Walton. Brain’s disease of the nervous system. 9th ed. Oxford : Oxford University Press, 1985, p. 9-11, 370-386

14. Paul W. Braziz, et all. Localization in clinical neurology. 2nd ed. Boston ; Little, Brown, 1990, p.76-83

15. Pola penyakit medula spinalis di Lab/UPF Ilmu Penyakit saraf RSHS periode 1981-1984. Tesis akhir dr Airiza Ahmad, halaman 99-138

16. Robert M, Richard A. Multiple sklerosis and related condition, In : Baker’s clinical neurology vol. 3, revised Ed. Philadelphia : Harper & Row, 1987, Chapter 43

17. Rowland, LP. Amiotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases, In Advanced neurology. New York : Raven Press, 1991, p. 5-14[pic]

-----------------------

Tr

TN

K

G

RP

RF

CL

................
................

In order to avoid copyright disputes, this page is only a partial summary.

Google Online Preview   Download