OSTEOPOROSIS



BAB XVIII

OSTEOPOROSIS

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF

Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat :

1. Memahami osteoporosis

. Mengetahui etiologi, patogenesis dan faktor risiko osteoporosis.

. Mengetahui diagnosa dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk

. membantu diagnosa osteoporosis.

TUJUAN AFEKTIF

Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka penulis mengharapkan anda sudah akan dapat :

1. Menunjukkan perhatian terhadap osteoporosis

. Membaca lebih lanjut tentang osteoporosis

. Dapat memberikan pengetahuan tentang osteoporosis kepada rekan sejawat.

2. Membaca lebih lanjut mengenai cara-cara pencegahan dan pengelolaan osteoporosis

I. PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan terjadinya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah.

Osteoporosis yang merupakan penyakit metabolik tulang disebut juga tulang rapuh atau tulang keropos. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dialami perempuan setelah menopause. Osteoporosis diistilahkan juga sebagai silent disease karena sering tidak memberikan gejala hingga pada akhirnya terjadi fraktur.

Proses osteoporosis sebenarnya sudah dimulai sejak usia 40-50 tahun. Pada usia tersebut, baik laki-laki maupun perempuan akan mengalami proses penyusutan massa tulang yang akan menyebabkan kerapuhan tulang. Hanya saja pada perempuan proses kerapuhan tulang menjadi lebih cepat setelah menopause karena kadar hormon estrogen yang mempengaruhi kepadatan tulang sangat menurun. Osteoporosis bahkan sudah dapat dijumpai setelah menopause berlangsung 5-10 tahun.

Fraktur tulang yang paling sering terjadi terdapat di ruas tulang belakang, bagian leher tulang paha, dan pergelangan lengan bawah.

II. PATOGENESIS

Massa tulang mengalami perubahan selama hidup melalui tiga fase, yaitu fase tumbuh, fase konsolidasi, dan fase involusi. Sekitar 90% massa tulang dibentuk pada fase tumbuh. Setelah masa pertumbuhan, pertumbuhan tulang berhenti sehingga berhenti pula proses pertumbuhan pemanjangan tulang. Ini berarti tinggi badan sudah tidak mungkin bertambah.

Setelah fase pertumbuhan berhenti, mulai fase konsolidasi yang berlangsung 10-15 tahun. Pada fase ini kepadatan tulang bagian kortex dan trabekular akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia 30-35 tahun. Keadaan ini disebut massa tulang puncak (peak bone mass). Seseorang yang mempunyai massa tulang puncak yang tinggi akan mempunyai kekuatan tulang yang cukup bila terjadi penurunan densitas tulang akibat usia, sakit berat, atau menurunnya produksi seks steroid. Pencapaian massa puncak tulang ini ternyata lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.

Untuk jangka waktu tertentu, keadaan massa tulang tetap stabil sampai akhirnya memasuki fase involusi, yaitu mulai terjadinya pengurangan massa tulang sesuai dengan pertambahan usia. Pada usia 40-45 tahun, baik laki-laki maupun perempuan mulai terjadi proses penipisan massa tulang yang penyusutannya berkisar 0,3-0,5% per tahun. Seiring dengan turunnya kadar hormon estrogen yang terjadi secara fisiologis pada perempuan, maka kehilangan massa tulang akan meningkat menjadi 2-3% per tahun yang dimulai sejak masa premenopause dan terus berlangsung sampai 5-10 tahun setelah menopause. Pada usia lanjut, yaitu setelah usia 65 yahun atau usia geriatrik, kehilangan massa tulang tetap terjadi, tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah.

Secara keseluruhan, selama hidupnya pada perempuan akan kehilangan 40-50% massa tulangnya, sedangkan pada laki-laki hanya sekitar 20-30%. Penurunan massa tulang ini ternyata tidak sama diseluruh tulang rangka. Penurunan yang paling cepat terjadi di tulang-tulang metacarpal, collum femoris, dan corpus vertebrae. Tulang kerangka lainnya juga mengalami proses tersebut, tetapi berlangsung lebih lambat.

Pada osteoporosis, resorpsi tulang meningkat sehingga kepadatan massa tulang menurun. Bila massa tulang yang hilang sedemikian besarnya maka benturan ringan pun dapat menyebabkan fraktur. Pada osteoporosis, tulang-tulang yang sering mengalami fraktur yaitu ruas vertebrae, proksimal femur dan distal radius.

III. KLASIFIKASI

Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat dibedakan atas :

1. osteoporosis primer → etiologi tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan penyakit lain. Dibagi lagi atas :

• osteoporosis tipe I (pasca menopause)

• osteoporosis tipe II (senilis)

• osteoporosis idiopatik, terjadi pada usia muda dengan penyebab yang tidak diketahui

2. osteoporosis sekunder → bersifat herediter, didapat atau karena gangguan fisiologis atau penyakit lain antara lain hiperparatiroid, gagal ginjal kronis, malabsorpsi, keadaan yang berhubungan dengan imobilitas dan lain-lain.

Perbedaan osteoporosis tipe pasca menopause dengan tipe senilis dapat dilihat pada tabel dibawah ini

| |Tipe Pasca Menopause |Tipe Senilis |

|1. Usia terjadinya (tahun) |51-75 |>70 |

|2.Rasio jenis kelamin (W:P) |6:1 |2:1 |

|3. Hilangnya tulang |Terutama trabekuler |Trabekuler dan kortikal |

|4. Derajat hilang tulang |Dengan percepatan |Tanpa percepatan |

|5. Letak fraktur |Vertebrae dan radius (distal) |Vertebrae dan pinggul (collum femur) |

|6. Penyebab utama |Faktor yang berhubungan dengan |Faktor yang berhubungan dengan proses |

| |menopause |menua |

IV. FAKTOR RESIKO

A. Faktor resiko turunan

1. Jenis kelamin perempuan

Perempuan mempunyai resiko 6 kali lebih besar daripada laki-laki untuk terkena osteoporosis primer. Hal ini disebabkan massa tulang puncaknya yang lebih rendah dan kehilangan massa tulangnya yang lebih cepat setelah menopause.

2. Usia

Semakin lanjut usia seseorang, semakin besar kehilangan massa tulangnya dan semakin besar pula kemungkinan timbulnya osteoporosis. Di samping itu, semakin tua akan semakin berkurang pula kemampuan saluran cerna untuk menyerap kalsium. Setiap peningkatan umur 1 dekade akan meningkatkan resiko osteoporosis 1,4-1,8 kali.

3. Ras

Perempuan kulit putih dan asia cenderung berpeluang mengalami osteoporosis.

4. Struktur tulang dan berat tubuh

Orang yang rangka tulangnya kecil cenderung lebih sering mengalami osteoporosis dibandingkan orang yang kerangka tulangnya besar. Bentuk tulang dan tubuh yang kurus beresiko lebih besar untuk mengalami osteoporosis.

5. Sejarah keluarga dan pribadi

Secara genetik, bila dalam satu keluarga terdapat riwayat osteoporosis, kemungkinan anggota keluarga lain menderita osteoporosis sekitar 60-80%. Kerentanan terhadap patah tulang, mungkin sebagian disebabkan keturunan. Perempuan muda yang ibunya pernah mengalami patah tulang belakang, peluangnya lebih besar mengalami pengurangan massa tulang. Pengalaman patah tulang pada usia dewasa juga menjadi indikasi bertambahnya resiko mengalami osteoporosis.

6. Berat badan dan body mass index (BMI) rendah

Orang kurus lebih mudah terserang osteoporosis daripada orang gemuk.

7. Ruas tulang belakang membelok ke samping (scoliosis)

Orang yang pernah mengalami patah tulang osteoporosis, sehingga tulang membengkok ke samping atau belakang mempunyai resiko lebih tinggi mengalami patah tulang lagi. Penyebabnya belum dipahami, namun bisa jadi ini tanda bahwa orang yang pernah mengalami patah tulang memiliki tulang yang lebih rapuh. Kondisi ini nyata pada wanita yang pernah mengalami patah tulang belakang, resiko patah tulang meningkat tujuh kali.

B. Faktor resiko lingkungan

1. Kekurangan hormon estrogen.

Estrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan massa tulang. Turunnya kadar estrogen bisa terjadi akibat kedua indung telur telah diangkat atau diradiasi karena kanker, telah menopause, menopause dini atau dalam keadaan hipogonadisme. Kekurangan hormon estrogen akan mengakibatkan lebih banyak resorpsi tulang daripada pembentukan tulang. Akibatnya, massa tulang yang sudah berkurang karena bertambahnya usia, akan diperberat lagi dengan berkurangnya hormon estrogen setelah menopause.

2. Kekurangan hormon testosteron.

Kadar testosteron pada laki-laki sangat penting guna mencapai dan menjaga massa tulang yang maksimal. Pubertas yang terlambat pada laki-laki juga merupakan faktor resiko berkurangnya massa tulang yang cenderung mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Biasanya osteoporosis yang dialami pria terjadi pada usia 60 tahun dan berlangsung lebih lambat daripada perempuan.

Rendahnya kejadian osteoporosis pada pria diduga karena pria dapat mencapai massa tulang puncak yang lebih tinggi dan tingkat kehilangan massa tulang kortikal yang lebih rendah. Disamping itu, penurunan massa tulang trabekular pada pria lebih bersifat penipisan daripada perforasi, sehingga arsitektur tulang masih bisa dipertahankan.

3. Diet ketat untuk menurunkan berat badan sampai menyebabkan terhentinya haid.

4. Menderita penyakit kronis.

Resiko terkena osteoporosis meningkat pada penderita diabetes, hipertiroidisme. Penggunaan obat-obatan tertentu berjangka panjang seperti penggunaan steroid untuk menangani asma dan arthritis, obat anti kejang juga dapat meningkatkan resiko terkena osteoporosis

5. Makanan yang kurang kalsium dan vitamin D.

Selain dibutuhkan oleh sel tubuh, kalsium juga dibutuhkan untuk mencegah rapuhnya tulang. Untuk menjaga keseimbangan kalsium darah, dibutuhkan hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Yang juga berperan pada metabolisme kalsium di tulang antara lain hormon estrogen, hormon androgen, kadar kalsium, fosfat, usia.

Vitamin D dibutuhkan dalam penyerapan kalsium di usus. Dengan bertambahnya usia, penyerapan kalsium di usus akan terganggu karena berkurangnya vitamin D dan enzim pencernaan (laktase), rendahnya pengeluaran asam lambung, dan berkurangnya kemampuan usus mengangkut kalsium.

Berkurangnya kadar kalsium darah di usia lanjut akan mengakibatkan naiknya kadar hormon paratiroid sehingga tulang melepaskan kalsium agar kadar kalsium darah tetap normal. Selanjutnya terjadi proses penipisan massa tulang dan terjadi osteoporosis.

6. Rokok, alkohol, kopi, garam dan minuman ringan.

Merokok, terutama pada perempuan yang sudah dimulai sejak remaja, akan menurunkan kadar estrogen di dalam darah sehingga pencapaian densitas puncak tulang akan berkurang, menopause terjadi lebih dini, dan terganggunya penggunaan obat pengganti hormon.

Merokok dan minum alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan resiko osteoporosis dua kali lipat.

Kafein akan meningkatkan pembuangan kalsium melalui urin. Makanan yang diasinkan juga dapat mempercepat timbulnya rapuh tulang. Dalam minuman ringan (soft drinks) terdapat kandungan fosfat. Tingginya asupan fosfat akan menyebabkan ratio fosfat-kalsium yang abnormal. Bila ratio menjadi 1 : 6 maka resiko terjadinya osteoporosis dan hiperparatiroid akan meningkat. Namun, bila konsumsi kalsiumnya cukup, osteoporosis tidak akan terjadi.

7. Asupan protein berlebih.

Kekurangan protein akan mengganggu proses pertumbuhan anak karena berkurangnya pembentukan tulang kortikal dan tidak tercapainya puncak massa tulang.

8. Obat-obatan.

Penggunaan steroid akan mengeluarkan kalsium dari tulang, mempercepat terjadinya osteoporosis pada perempuan serta menghambat pertumbuhan tulang pada balita dan remaja. Idealnya, penggunaan steroid selama 2 bulan atau lebih perlu dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang karena resikonya tinggi terhadap terjadinya fraktur osteoporotik.

Beberapa obat yang dapat menyebabkan rapuhnya tulang adalah hormon kelenjar gondok, obat antikonvulsan, heparin, antasida yang mengandung alumunium, obat kanker, obat TBC, diuretik dan tetrasiklin.

9. Gaya hidup inaktif.

Ada hubungan langsung antara massa otot dan massa tulang. Olahraga seperti lari, naik gunung, beladiri, serta pekerjaan berat yang membangun massa otot dan telah dilakukan sejak muda akan meningkatkan massa tulang menjadi padat.

Sebaliknya, tidak pernah berolahraga, sakit berat yang menyebabkan penderitanya harus berbaring di tempat tidur (imobilisasi), dan pekerjaan dengan banyak duduk akan menyebabkan otot mengecil dan berkurangnya massa tulang. Pada usia lanjut, imobilisasi yang lama akan menyebabkan timbulnya osteoporosis

V. DIAGNOSIS

Evaluasi klinis terhadap penderita osteoporosis diarahkan pada identifikasi faktor resiko, termasuk gaya hidup, pemeriksaan klinis dan penapisan (screening) untuk mencari kemungkinan penyebab sekunder kehilangan massa tulang.

Anamnesis

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis penderita osteoporosis :

1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau peningkatan kifosis torakal.

2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi faktor predisposisi osteoporosis :

- Penyakit endokrin, misalnya diabetes mellitus, penyakit tiroid, hiperparatoroidisme, hipogonadisme, menopause dini atau operasi ovarium yang menyebabkan menopause dini.

- Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal

- Penyakit hati, misalnya sirosis bilier primer, transplantasi hati.

- Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang jarang terpajan sinar matahari.

- Penyakit hematologik, misalnya anemia sideroblastik, thalasemia.

- Penyakit saraf, dalam hal ini berbagai obat anti epilepsi, seperti dilantin dan fenobarbital ternyata dapat menurunkan densitas massa tulang.

- Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, reseksi usus

- Penyakit sendi, misalnya arthritis rheumatoid, spondilitis ankilosa

3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan osteoporosis, seperti kortikosteroid, obat anti epilepsi, siklosporin, dan lain-lain.

4. Riwayat haid, termasuk umur menarche dan menopause, keteraturan haid, riwayat kehamilan.

5. Anamnesis gizi, terutama untuk menilai asupan kalsium.

6. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor resiko osteoporosis, seperti merokok, minum alkohol, kurang berolah raga.

7. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi faktor resiko ini.

8. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskuler yang mungkin akan mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.

Pemeriksaan klinik

• Tulang vertebra harus diperiksa dengan seksama, terutama untuk mencari deformitas (kifosis), nyeri, dan tanda-tanda fraktur bila mungkin.

• Tinggi badan harus diperiksa, apakah ada penurunan tinggi atau tidak.

• Beberapa penyakit yang didapat dalam anamnesa harus dibuktikan pada pemeriksaan fisik.

• Juga harus dicari kelainan payudara dan penyakit vaskuler.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan ini meliputi darah lengkap, albumin, fosfat, ureum, T3, T4, serum protein elektroforesis, dan urin lengkap. Juga dilakukan pemeriksaan kadar kalsium, kreatinin, hidroksiprolin, alkali fosfatase, dan osteokalsin untuk mengetahui secara tidak langsung adanya gangguan keseimbangan resorpsi dan pembentukan tulang. Namun tidak semua pemeriksaan ini dilakukan mengingat harganya yang mahal, misalnya pemeriksaan osteokalsin.

Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam juga berguna walaupun tidak langsung mendeteksi kelainan metabolisme tulang. Bila nilai ekskresi kalsium 250 mg per 24 jam akan berbahaya bila penderitanya diberi suplemen kalsium.

a. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya resorpsi tulang

1. Mengukur kadar kalsium urin puasa dibagi dengan kreatinin.

adanya gangguan penyerapan kalsium di saluran cerna juga akan menyebabkan rendahnya pengeluaran kalsium di urin.

2. Mengukur kadar hidroksiprolin urin puasa dibagi dengan kreatinin

kolagen fibrilar kaya akan asam amino hidroksiprolin dan hidroksilisin. Sekitar 50% kolagen ini ditemukan dalam tulang. Keduanya akan dikeluarkan dalam urin bila terjadi kerusakan kolagen sehingga ekskresi hidroksiprolin yang meningkat dalam urin 24 jam menandakan adanya resorpsi tulang. Pemeriksaan ini spesifisitas dan sensitivitasnya rendah karena kadar hidroksiprolin dalam urin juga ditemukan pada orang dengan diet tinggi protein.

b. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya pembentukan tulang

1. Mengukur kadar fosfatase alkali serum (ALP)

fosfatase alkali diproduksi oleh osteoblas sehingga dapat digunakan sebagai indikator adanya pembentukan tulang. Namun, fosfatase alkali dibentuk juga oleh jaringan lain. Kadar fosfatase alkali yang tinggi bisa akibat osteomalacia, keganasan tulang, hepatitis menahun, atau sedang dalam masa penyembuhan fraktur. Agar pemeriksaan ini menjadi spesifik, perlu dilakukan juga pemeriksaan bone specific assay.

2. Mengukur kadar osteokalsin

Osteokalsin hanya dihasilkan oleh osteoblas sehingga pada keadaan pembentukan tulang yang meningkat, kadarnya pun akan naik.

Pemeriksaan biokimiawi tulang di atas seperti alkali fosfatase, osteokalsin, dan deoksipiridinolin urin berguna untuk mendiagnosis osteoporosis pada waktu bone turn over sedang meningkat. Evaluasi terapi secara biokimia tulang dapat dilakukan dalam waktu 2-3 bulan setelah pengobatan osteoporosis dan diharapkan terjadi penurunan petanda resorpsi dan pembentukan tulang.

Pemeriksaan radiologi

1. Pemeriksaan radiologi sederhana

Pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral untuk mencari adanya fraktur. Foto x-ray hanya merupakan pengukuran kasar terhadap adanya osteopenia, tanpa merinci bagian tulang mana yang telah mengalami osteopenia. Pemeriksaan radiologi biasa untuk mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena pemeriksaan ini baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah penurunan densitas massa tulang lebih dari 30%.

2. Pemeriksaan lainnya

Teknologi kedokteran sering mendiagnosis osteoporosis dengan mengukur kepadatan mineral tulang atau bone mineral density (BMD) pasien. BMD adalah sejumlah kalsium yang berada di dalam tulang. Banyak metode untuk mengukur BMD (juga disebut bone densitometry) dengan cepat, non-invasive (tidak menimbulkan luka), tanpa rasa sakit, dan tersedia untuk outpatient (pasien yang tidak tinggal di rumah sakit). Bone densitometry juga dapat digunakan untuk memperkirakan adanya patah tulang.

Metode BMD meliputi Dual Energy X-rays Absorptiometry (DEXA) atau CT scans (Osteo CT/QCT) tulang pada kolom tulang belakang, pergelangan, lengan atau kaki. Metode ini membandingkan kepadatan tulang secara numeris (dihitung berdasar gambar) untuk menentukan apakah pasien menderita osteoporosis atau tidak serta tingkatannya.

DEXA merupakan metode bone densitometry yang paling luas penggunaannya serta memberikan kepastian pengobatan yang lebih baik. Pengukuran BMD dengan DEXA tanpa rasa sakit, tanpa suntikan, non-invasive, sedatif dan tanpa perlu adanya diet atau persiapan khusus lainnya. Selama pengujian DEXA, pasien tetap dapat berpakaian lengkap ketika bagian tubuhnya discan dan pada umumnya pengobatannya berlangsung cepat. DEXA menggunakan sinar-x dosis yang radiasinya lebih kecil dibanding chest sinar-x. Setiap kepadatan tulang pasien yang diamati dibandingkan dengan kesehatan kenormalan tulang orang muda yang sehat atau dengan perbandingan data tingkat usia.

Tes laboratorium yang mengukur sejumlah collagen (protein pada jaringan penghubung) pada contoh urin dapat menunjukkan adanya pengeroposan tulang. Tes lab ini mungkin juga dapat berkolaborasi dengan DEXA atau metode lainnya untuk mendiagnosis osteoporosis.

Metode baru untuk mengukur osteoporosis menggunakan ultrasound sedang dikembangkan. Salah satunya system ultrasound yang mengukur BMD tumit pasien hanya dalam waktu satu menit. Sistem ultrasound lebih murah daipada system tradisional DEXA. Baru-baru ini system ini mendapat izin dari US Food and Drug Administration (FDA).

Banyak pihak berharap sistem ini lebih kompak, biaya yang murah bisa meningkatkan penggunaan sistem ini di masa depan. Sayangnya, dalam mengukur bagian-bagian sekunder seperti tumit sebagai cara kerja utama, kepekaan ultrasound tidak dapat menyamai DEXA atau QCT yang mengukur tulang belakang atau pinggang, karena kepadatan tulang tumit mungkin normal walaupun bagian pusat seperti tulang belakang atau pinggang tidak normal.

Selanjutnya, perubahan kepadatan pada tumit lebih lambat dibanding tulang belakang atau pinggang. Oleh karena itu ultrasound densitometri tidak digunakan untuk memonitor respons pasien terhadap terapi yang diberikan. Walau begitu sistem ultrasound membuat lebih banyak orang menjadi mampu mengakses bone densitometry yang potensial untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum patah tulang terjadi.

Tingkat akurasi dari metode-metode pemeriksaan diatas tergolong tinggi, antara 85-99%. QCT merupakan penguji yang paling akurat, DEXA paling banyak penggunaannya, dan ultra sound sebagai yang termurah.

Indikasi pemeriksaan densitometri tulang :

1. Wanita dengan defisiensi estrogen

2. Penderita dengan abnormalitas tulang belakang atau secara radiologik didapatkan osteopenia

3. Penderita yang memperoleh glukokortikoid jangka panjang

4. Pada penderita dengan hiperparatiroidisme primer asimptomatik

5. Evaluasi penderita-penderita :

- Tidak responsif terhadap terapi yang diberikan

- Penurunan densitas massa tulang yang cepat

- Wanita diatas 60 tahun atau laki-laki diatas 70 tahun

- Amenore primer dan sekunder

- Hiperparatiroidisme sekunder

- Anoreksia nervosa

- Alkoholisme

- Terapi antikonvulsan

- Fraktur multiple atraumatik

Pemeriksaan densitometri tulang dengan alat DEXA biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh. Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis, cukup diperiksa densitometri lumbal dan femur proksimal. Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu daerah lumbal untuk wanita yang berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah femur proksimal pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun atau pada laki-laki.

Untuk mendiagnosa osteoporosis, digunakan nilai T-score, yaitu nilai standart deviasi densitas massa tulang penderita dibandingkan dengan densitas massa tulang rata-rata populasi muda, yaitu populasi pada waktu nilai massa tulang puncak tercapai (20-30 tahun).

Berdasarkan kriteria kelompok kerja WHO, maka diagnosis osteoporosis ditegakkan dengan kriteria berikut :

• Normal → bila densitas massa tulang diatas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score).

• Osteopenia→ bila densitas massa tulang diantara -1 SD sampai -2,5 SD dari T-score.

• Osteoporosis→ bila densitas massa tulang -2,5 SD dari T-score atau kurang

• Osteoporosis berat→ yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur

|Teknik |Nama |Bagian yang di scan |Waktu scanning |

| | | |(menit) |

|SPA |Single Photon Absorptiometry |Radius, Calcaneus (tumit) |5-10 |

|DEXA |Dual Energy X-ray Absorptiometry |Tulang punggung lumbal |5-10 |

| | |Tulang punggung lumbal lateral |15-20 |

| | |Femur |5-10 |

| | |Seluruh tubuh |20 |

|QCT |Quantitative Computed Tomography |Tulang punggung lumbal |20 |

| | |Femur |20 |

|PQCT |Peripheral Quantitative Computed Tomography |Lengan bawah |10 |

|QUS |Quantitative Ultrasound |Tempurung lutut |15-20 |

| | |Tungkai bawah |10-15 |

| | |Tumit |10-15 |

T-score dan Z-score

| BMD pasien – BMD rata-rata orang dewasa muda |

|T-score = --------------------------------------------------------------- |

|1 SD BMD rata-rata orang dewasa muda |

| |

| |

|BMD pasien – BMD rata-rata orang seusia pasien |

|Z-score = --------------------------------------------------------------- |

|1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien |

|Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis. Z-score yang rendah ( +1 |Sangat rendah |Tidak ada terapi |

| | |Ulang densitometri tulang bila ada indikasi |

| | |Tidak ada terapi |

| | |Ulang densitometri tulang setelah 5 tahun |

|0 s/d +1 |Rendah |Tidak ada terapi |

| | |Ulang densitometri tulang setelah 2 tahun |

| | |Tindakan pencegahan osteoporosis |

|-1 s/d 0 |Rendah |Tindakan pengobatan bila didapatkan > 2 faktor resiko |

| | |Ulang densitometri tulang setelah 1 tahun |

| | |Tindakan pencegahan dilanjutkan |

|-1 s/d -2,5 |Sedang |Tindakan pengobatan osteoporosis |

| | |Ulang densitometri tulang dalam 1-2 tahun |

| | |Tindakan pencegahan dilanjutkan |

| | |Tindakan pengobatan osteoporosis |

| | |Tindakan bedah atas indikasi |

| | |Ulang densitometri tulang dalam 6 bulan - 1 tahun |

| | | |

| 300 mg/24jam,

tambahkan tiazid; sesuaikan dosis Ca,

bila perlu tambahkan vitamin D

Evaluasi setelah 6-12 bulan:

Ulang BMD

Bila menurun > 5%: sesuaikan pengobatan

Bila meningkat atau tidak berubah atau menurun < 5%: terapi tetap

Pengobatan osteoporosis akibat steroid

|Penatalaksanaan umum |

|Gunakan steroid dengan dosis efektif serendah mungkin dan sesingkat mungkin |

|Latihan yang bersifat pembebanan dan isometrik |

|Memelihara status gizi sebaik mungkin |

|Menghindari hiperparatiroidisme sekunder |

|Restriksi Na sampai 3gr/hari untuk mencegah hiperkalsiuria dan meningkatkan absorpsi kalsium; bila perlu tambahkan |

|tiazid |

|Menjaga asupan kalsium 1200-1500 mg/hari |

|Menjaga asupan vitamin D |

|Evaluasi densitas massa tulang dengan alat DXA 6 bulan sekali |

|Mulai pengobatan bila T-score < -1 |

|Pengobatan osteoporosis |

|Bisfosfonat, yaitu risedronat atau alendronat merupakan obat pilihan |

Pencegahan dan pengobatan osteoporosis pada laki-laki

|Asupan kalsium yang adekuat: |

|Pada laki-laki muda dan anak laki-laki, preadolesen: 1000 mg/hari |

|Pada laki-laki > 60 tahun dan anak laki-laki, adolesen: 1500 mg/hari |

|Asupan vitamin D yang adekuat |

|Latihan fisik yang teratur terutama yang bersifat pembebanan dan isometrik |

|Hindari merokok dan minum alkohol |

|Kenali defisiensi testosteron sedini mungkin dan berikan terapi yang adekuat |

|Kenali faktor resiko osteoporosis dan lakukan tindakan pencegahan |

|Kenali faktor resiko terjatuh dan lakukan tindakan pencegahan |

|Berikan terapi yang adekuat: Risedronat atau Alendronat merupakan terapi pilihan |

|Bila ada hipogonadisme, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron |

III. KESIMPULAN

Tujuan pengelolaan osteoporosis bukan hanya untuk menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan densitas tulang, tetapi yang terpenting adalah mencegah fraktur.

Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang.

Pencegahan Primer, mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium, melakukan latihan fisik, hindari faktor yang menghambat penyerapan kalsium atau mengganggu pembentukan tulang. Pencegahan Sekunder, konsumsi kalsium dilanjutkan pada periode menopause, Terapi Sulih Hormon (TSH), latihan fisik yang bersifat spesifik dan individual, calcitonin, vitamin D dan thiazide. Pencegahan Tertier, setelah pasien mengalami fraktur, jangan dibiarkan melakukan gerak (mobilisasi) terlalu lama. Sejak awal perawatan, disusun rencana mobilisasi, mulai mobilisasi pasif sampai aktif dan berfungsi mandiri.

Faktor-faktor pencegah osteoporosis menjaga asupan kalsium yang cukup, sekitar 1000-1500 mg/hari, latihan teratur, terutama latihan beban untuk menjaga densitas massa tulang dan menguatkan otot, kenali secara dini kemungkinan defisiensi testosteron pada laki-laki, hindari merokok dan minuman alkohol, hindari obat-obatan dan jamu yang dapat memicu osteoporosis. Bila harus minum obat tertentu, misalnya steroid, harus di bawah pengawasan dokter, hindari resiko terjatuh, hindari kekurangan vitamin D, terutama pada orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Prevention and management of osteoporosis. Report of a WHO Scientific Group. Geneva : World Health Organization, 2003 : 1-106.

Lane NE. The Osteoporosis book a guide for patients and their families, 1st ed. New York : Oxford University Press, 1999 : 2-132.

Marcus R. Treatment of osteoporosis. In : Carruthers SG, Hoffman BB, Melmon KL, Niurenberg DW (ed). Melmon and Morelli’s clinical pharmacology, 4th ed. San Francisco : McGraw-Hill, 2000 : 703-10.

Marcus R. Agents affecting calcification and bone turnover. In : Hardman JG, Limbird LE (ed). Goodman and Gillman’s The pharmacological basis of therapeutics, 10th ed. San Francisco : McGraw-Hill, 2001 : 1717-39.

Rang HP, Dale MM, Ritter JM. Bone metabolism. In : Pharmacology, 4th ed. London : Churchill Livingston, 2000 : 455-61.

Panduan diagnosis dan pengelolaan osteoporosis. Ikatan Reumatologi Indonesia. Jakarta, 2005.

NN.Bone resorption inhibitor. 2006 April 19. Available from :





-----------------------

Diduga osteoporosis:

- Fraktur pada trauma ringan, atau

- Gambaran osteopenia pada foto Rontgen, atau

- Keadaan klinis yang berhubungan dengan resiko osteoporosis

Penilaian faktor resiko osteoporosis

Pemeriksaan densitas massa tulang

T-score >-1

- Tanpa pengobatan

- Ulang densitometri tulang bila ada indikasi

T-score -1 s/d -2,5

T-score < -2,5

- Pencegahan osteoporosis

- Dipertimbangkan pemberian obat bila didapatkan > 2 faktor resiko

- Ulang densitometri setelah 2 tahun

- Pengobatan osteoporosis

- Lanjutkan tindakan pencegahan

- Ulang densitometri setelah 1 tahun atau petanda biokimia tulang setelah 3-4 bulan

................
................

In order to avoid copyright disputes, this page is only a partial summary.

Google Online Preview   Download