Repositori Tugas Akhir Universitas Maritim Raja Ali Haji



SEKOLAH SEBAGAI MEDIA PENCITRAAN DIRI SISWI DI KABUPATEN BINTAN

Naskah Publikasi

Oleh

IOMI ASFANALIA SOULANICK

NIM: 100569201022

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2016

SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi mahasiswa yang disebut dibawah ini:

Nama : Iomi Asfanalia Soulanick

NIM : 100569201022

Jurusan/Prodi : Sosiologi

Alamat : Jl. Mantang Perumnas Seijang

Nomor TELP : 085287446800

Email : iomi_soulanick@

Judul Naskah : Sekolah Sebagai Media Pencitraan Diri Siswi Di Kabupaten Bintan

Menyatakan bahwa judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan untuk dapat diterbitkan.

Tanjungpinang, 8 Agustus 2016

Yang menyatakan,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Siti Arieta, M.A Nanik Rahmawati, M.Si

NIP. 198304062015042002 NIDN. 1013048002

ABSTRAK

Sekolah merupakan sebuah lembaga tempat menimba ilmu dan pengetahuan juga dituntut untuk membentuk kepribadian siswa. Seiring perkembangan zaman sekolah tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga sebagai media pencitraan diri siswa. Fungsi citraan diri di sekolah salah satunya adalah para siswa menjadikan sekolah sebagai catwalk. sekolah sering dijadikan ajang para siswa untuk berekspresi menunjukkan penampilan diri dengan sebaik-baiknya, selain menuntut ilmu. Hal tersebut mereka dapatkan dari melihat, meniru dan mengadopsi dari berbagai sinetron remaja yang sering mereka tonton. Pencitraan diri dapat dilihat dari apa yang dikenakan, diucapkan dan saat berinteraksi dengan teman-temannya ketika di sekolah. Sehingga penelitian ini difokuskan pada rumusan masalah yaitu: Bagaimana siswi SMAN 2 Bintan menjadikan sekolah sebagai media pencitraan dirinya. Pencitraan diri menggunakan teori dari Erving Goffman yaitu Dramaturgi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana siswi SMAN 2 Bintan menjadikan sekolah sebagai media pencitraan dirinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), dan dokumentasi. Analisa data mengunakan model Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data, kesimpulan, dan verifikasi data.

Adapun hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa sekolah terbukti menjadi media pencitraan diri bagi para siswi di SMAN 2 Bintan. Hal tersebut didukung oleh penemuan dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan berdasarkan teori dramaturgi. Pencitraan diri siswi di sekolah ditampilkan dengan barang-barang yang digunakan seperti aksesoris terkini, gaya berpakaian dan gaya berbicara. Pada bagaian depan (front stage) siswi menampilalkan diri dengan sebaik-baiknya dan menutupi bagian belakang panggungnya sedangkan pada belakang panggung (back stage) siswi menjadi dirinya sendiri dan mempersiapkan penampilan diri yang akan ditampilkan ketika di sekolah.

Kata Kunci: Pencitraan Diri

ABSTRACT

School is a place to gain knowledge institutions and knowledge are also required to establish the personality of students. As the development of the times school is not only a place to study but also as imaging media students. The images themselves at school functions one of which is that the students make the school as the catwalk. School often made the event the students show the appearance of self expression with the best, in addition to studying. That they get from seeing, imitate, and then adopted from various soap operas that often they watched. Self-image can be seen from what is charged, pronounced and when interacting with his friends at school. So this research is focused on the formulation of the problem is: How SMAN 2 Bintan making the school as imaging media itself. Self-image using the theory of Erving Goffman is dramaturgy.

The purpose of this study was to determine how SMAN 2 Bintan making the school as imaging media itself. This study uses qualitative research methods and descriptive. The data collection is done by using the interview guidelines (interview guide), and documentation. Analysis of data using models Miles and Huberman of data reduction, data presentation, conclusions, and verification of data.

The results obtained from this study is that the school proved to be a self-image media for female students at SMAN 2 Bintan. This is supported by findings from interviews and observations made by the theory of dramaturgy. Students in the school self-image is displayed with items that are used as the latest accessories, style of dress and style of speaking. In this part of the front (front stage) displays students themselves as well as possible and cover the back of the stage while the backstage (back stage) students be themselves and prepare personal appearance that will be displayed when in school.

Keyword: self-image

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa di bawah pengawasan pendidik atau guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib dalam upaya menciptakan anak didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran (Idi, Abdullah, 2011 : 142). Sekolah juga merupakan tempat dimana siswa menghabiskan sebagian waktunya. Pada umumnya, siswa berada di sekolah dari pukul tujuh pagi sampai dengan pukul dua siang, bahkan ada yang sampai pukul lima sore jika ada kegiatan seperti ekstrakulikuler di sekolah. Selain itu sekolah berfungsi mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan, sekolah memberikan keterampilan dasar, sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib, sekolah menyediakan tenaga pembangunan, sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial, sekolah mentransmisi kebudayaan, sekolah membentuk manusia yang sosial, sekolah merupakan alat menxtransformasikan kebudayaan dan lain sebagainya (Nasution, 2004: 14).

Seiring perkembangan zaman, sekolah tidak hanya sebagai media pendidikan tetapi juga sebagai media pencitraan diri siswa ketika di sekolah. Pada dasarnya seseorang membangun sebuah citra dirinya dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian ataupun penghargaan dari orang lain, untuk itu seseorang memperbanyak simbol-simbol pada dirinya. Simbol-simbol tersebut dapat berupa produk-produk modernitas. Dari mengkonsumsi dan menggunakan produk-produk modernitas didalam interaksinya sehari-hari, citra seseorang dapat terbentuk. Fungsi citraan diri di sekolah salah satunya adalah para siswa menjadikan sekolah sebagai catwalk. Sekolah sering dijadikan ajang para siswa berekspresi menunjukkan penampilan diri dengan sebaik-baiknya, selain menuntut ilmu. Kehidupan para siswa di sekolah menengah atas dari dahulu hingga sekarang identik dengan persaingan antar sesama geng, mulai dari yang paling eksis, saling mendahului mengikuti tren seperti idola dalam penampilan atau saling bersaing untuk menjadi primadona dan gaya pacaran. Dalam sinetron proses belajar mengajar jarang ditampilkan, tetapi sebaliknya sekolah menjadi tempat mengumbar cinta, balas dendam, iri hati, bukan tempat para siswa untuk menimba ilmu dan bersosialisasi.

Hal tersebut mereka dapatkan dari melihat, meniru dan kemudian mengadopsi dari berbagai sinetron remaja yang sering mereka tonton.Sinetron atau Sinema Elekronika saat ini merupakan salah satu hiburan yang diminati masyarakat termasuk kaum siswa. Karena selain tidak memerlukan biaya, juga sangat mudah untuk menikmatinya. Dewasa ini, banyak sinetron yang tayang di televisi menceritakan warna-warni kehidupan remaja sekolah menengah atas, mulai dari kisah percintaan, persahabatan, perkelahian, kekerasan, melanggar peraturan sekolah, memerkan gaya hidup konsumtif yang mewah seperti ke sekolah dengan menggunakan mobil, motor sport,gonta-ganti gadget dan lain sebagainya. Hal yang seperti ini banyak di tiru oleh para siswa sekolah menengah atas dalam sehari-hari ketika di sekolah. Seharusnya siswa mempunyai rasa percaya diri menjadi diri sendiri agar tidak kehilangan jati dirinya. Namun pada kenyataannya siswa tidak memiliki rasa percaya diri sehingga kehilangan jati diri karena ingin mengikuti tren yang ada yang ditiru dan diadopsi dari berbagai sinetron remaja yang sering mereka tonton.

Terdapat 5 sinetron remaja yang menceritakan kehidupan remaja di sekolah. Sinetron remaja tersebut tayang di luar jam atau aktifitas sekolah para siswa, sehingga berpeluang bagi kaum siswa untuk menonton dan mengikuti alur cerita dari sinetron yang mereka tonton tersebut.Peneliti melihat, fenomena kehidupan remaja yang ada di sinetron tergambar dalam kehidupan nyata para siswa ketika di sekolah, salah satunya pada pelajar SMAN 2 Bintan. Peneliti melihat adanya kecenderungan para siswa SMAN 2 Bintan yang meniru apa yang ditayangkan sinetron di televisi. Seperti adanya siswa yang ke sekolah dengan meniru kebiasaan-kebiasan tokoh yang diidolakannya dalam sinetron. Seperti meniru cara berbicara atau bahasa yang digunakan, gaya rambut, model jilbab, baju seragam yang junkis, baju seragam yang tidak di masukkan, model tas terbaru, sepatu dan aksesoris sebagai pelengkap untuk penampilan dirinya.

SMAN 2 Bintan merupakan satu-satunya sekolah menengah atas yang terdapat di Kecamatan Topaya, Kawal, Kabupaten Bintan. SMAN 2 Bintan juga merupakan sekolah Adiwiyata yang menuju tingkat Nasional dengan berbagai prestasinya. Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang berbasis peduli terhadap lingkungan yang bersih, hijau, sehat, indah dan rindang. Letak sekolah SMAN 2 Bintan cukup jauh dari daerah kota dan tidak ada transportasi umum yang dapat diakses selain kendaraan pribadi dan bus sekolah. Sekolah yang pada dasarnya adalah tempat untuk menimba ilmu dan bersosialisasi dengan warga sekolah, namun di jaman yang semakin modern, kemajuan iptek yang semakin canggih, sekolah juga menjadi mediapencitraan diri siswa ketika di sekolah sebagai penunjang hidup agar diterima dilingkungannya.

Peneliti berasumsi bahwa, dari 108 siswa kelas XI ada yang ke sekolah hanya untuk bergaya dan menjadikan sekolah sebagai media pencitraan dirinya saat berinteraksi dengan teman-teman dalam sehari-hari ketika di sekolah, sama seperti sinetron yang menceritakan kehidupan siswa ketika di sekolah. Peneliti memfokuskan penelitian kepada siswa kelas XI IPS, karena peneliti melihat fenomena ini terjadi pada siswa kelas XI IPS yang cenderung menampilkan pencitraan dirinya ketika di sekolah. Pencitraan diri siswa di sekolah berkaitan dengan Teori Dramaturgi Erving Goffman seorang tokoh sosiologi lulusan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat. Goffman mengibaratkan kehidupan ini seperti panggung sandiwara dimana tiap individu diibaratkan sebagai aktor yang mempunyai peran masing-masing berusaha menampilkan yang terbaik agar pertunjukkan tetap berjalan (Poloma, 2007: 229).

Sekolah sebagai panggung (front stage) para siswa untuk menampilkan dirinya dalam menjalani peran yang sedang dijalankannya. Di luar sekolah, seperti di rumah (back stage) ini adalah tempat dimana para siswa memainkan peran yang sesungguhnya dalam kehidupan mereka dan mempersiapkan lakonnya untuk ditampilkan pada panggung depan. Pada belakang panggung ini, para siswa tidak perlu bertingkah laku atau bersandiwara, karena back stage adalah situasi yang bersifat pribadi dimana penonton tidak perlu menyaksikan aktifitas pribadinya.

Sekolah sebagai catwalk bagi para siswi untuk berlomba-lomba dalam menampilkan dirinya. Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi para siswi untuk mengekspresiakan dirinya. Berangkat dari fenomena yang telah diuraikan di atas, penelitian ini penting untuk dilakukan. Karena peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai “Sekolah sebagai Media Pencitraan Diri Siswi di Kabupaten Bintan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti dapat merumuskan masalah, yaitu : Bagaimana siswi SMAN 2 Bintan menjadikan sekolah sebagai media pencitraan dirinya?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana siswi SMAN 2 Bintan menjadikan sekolah sebagai media pencitraan dirinya.

2. Kegunaan penelitian

a. Secara Praktis

Dilihat dari kegunaan penelitian secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan dan informasi mengenai sekolah sebagai media pencitraan diri siswi di SMAN 2 Bintan, bahan masukan bagi instansi terkait pada pelajar di SMAN 2 Bintan, sumbangan pemikiran bagi para orang tua dan masyarakat terhadap siswa pelajar sekolah di Kabupaten Bintan.

b. Secara teoritis

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan informasi dalam penelitian-penelitian berikutnya dengan permasalahan penelitian yang sama serta menjadi refrerensi pustaka bagi pemenuhan kebutuhan penelitian lanjutan terutama pengembangan keilmuan di bidang Sosiologi.

D. Konsep Operasional

Agar mencapai realitas dalam hasil penelitian secara empiris, maka konsep yang masih abstrak perlu dioperasionalkan untuk benar-benar menyentuh permasalahan penelitian yang akan diteliti. Konsep-konsep yang dioperasionalkan tersebut perlu dilakukan guna mempermudah proses penelitian, adapun konsep yang dioperasionalkan dari Sekolah Sebagai Media Pencitraan Diri Siswa Kabupaten Bintan sebagai berikut:

a. Dramaturgi

Dalam dramaturgi terdapat panggung depan (front stage dan panggung belakang (back stage).

1. Sekolah sebagai panggung sandiwara siswi, yaitu bagian depan pertunjukkan para siswi untuk melakukan pencitraan diri di depan teman-temannya. Di dalam panggung sandiwara ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Diri siswi, yaitu mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan harapan penonton yang di peroleh siswi sebagai aktor ketika berinteraksi dengan teman-temannya sebagai penonton.

b. Seting, yaitu ruang lingkup sekolah yang dijadikan panggung sandiwara para siswi, seperti kelas, kantin, halaman sekolah sebagai situasi dimana siswi melakoni perannya.

c. Penampilan depan siswi, yaitu barang aksesoris yang dibeli di temapat langganan, salah satunya olshop. Penampilan depan siswi terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Penampilan yang modis, yaitu berbagai jenis barang yang mengenalkan siswi mengenai status sosial siswi sebagai aktor seperti seragam sekolah, tas, sepatu, jilbab yang digunakan ketika bersekolah sehingga terlihat modis.

2. Peran siswi dalam pencitraan diri, yaitu gaya yang diperankan siswi dalam pertunjukkan yang sedang berlangsung di sekolah.

d. Menyembunyikan penampilan, yaitu siswi terkadang memistikkan penampilannya dengan membatasi kontak, menjaga jarak dengan teman-temannya demi menjaga kekaguman pada dirinya sebagai aktor.

2. Bagian belakang pertunjukkan, yaitu bagian yang berada di luar sekolah yang sebagai panggung pertunjukkan. Pada bagian inilah tempat dimana para siswi menjadi dirinya sendiri karena tidak perlu berperan seperti ketika berada di sekolah dan mempersiapkan segala hal untuk di tampilkan di panggung depan. Bagian belakang panggung ini berlawan dengan self , karena self selalu menyembunyikan hal-hal negatif dalam kehidupannya yang berlawanan dengan peran yang dijalankan.

b. Pencitraan Diri

Pencitraan diri, yaitu cara siswi membentuk kesan gambaran mengenai dirinya dengan orang lain berdasarkan benda yang ia gunakan ketika berada di sekolah untuk menampilkan dirinya. Benda yang dimaksud dalam penelitian ini seperti jam tangan, tas dan aksesoris yang dipakai siswi kelas XI IPS.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Deskriptif dalam penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian berdasarkan data deskriptif, yaitu berupa lisan atau kata tertulis dari seseorang subjek yang telah diamati dan memiliki karakteristik bahwa data yang diberikan merupakan data asli yang tidak diubah serta menggunakan cara yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Sugiyono (2006:11), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lain. Selanjutnya Sugiyono (2006:14) berpendapat “Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar.”

Penelitian jenis ini memberikan gambaran tertentu yang berkaitan dengan fakta dengan jalan mengumpulkan data, menganalisis data, serta menginterpretasikannya. Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian ini adalah agar peneliti dapat menjelaskan secara mendalam mengenai fenomena sekolah sebagai media pencitraan diri siswa yang terjadi pada siswa perempuan kelas XI IPS di SMAN 2 Bintan. Dalam penelitian ini, peneliti akan memperoleh data dari informan yang merupakan siswi SMAN 2 Bintan langsung, yang disini sebagai subjek penelitian.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian akan dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bintan, yang salah satunya terdapat sekolah menengah atas yaitu, SMAN 2 Kabupaten Bintan. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan, yakni karena SMAN 2 Bintan merupakan salah satu SMA di wilayah yang berada jauh dari kota, satu-satunya SMA yang berada di daerah pesisir (bagian kawal, trikora, berakit), terletak di kabupaten yang kebanyakan pelajarnya berasal dari kalangan menengah dan bawah. Banyaknya pelajar SMAN 2 Kabupaten Bintan yang cenderung mengikuti tren gaya pelajar di perkotaan salah satunya seperti sinetron yang mereka tonton.

3. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau sumber pertama. Data primer ini didapat secara langsung melalui tanya jawab dengan informan yang sudah ditentukan dalam penelitian ini. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti ini, data awal atau data primernya diperoleh dari siswa SMAN 2 Bintan. Data primer ini meliputi data tentang pencitraan diri siswa ketika berada di sekolah yang dapat disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini :

Tabel 6

Data Primer

|No. |Data Primer |Pertanyaan |Informan |

|1. |Front stage |Mengenai self, |Aprilia, |

| | |penampilan, gaya |Rian, Devi, |

| | |dan mistifikasi |Anita dan |

| | | |Rhea |

|2. |Back Stage |Mengenai kegiatan | |

| | |di luar jam sekolah| |

| | | | |

| | |Mengenai | |

|3. |Pencitraan |membentukkan kesan | |

| |Diri |terhadap diri siswi| |

b. Data Sekunder

Data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer.Data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel, serta dokumentasi.Data sekunder yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada atau data yang diambil melalui keterangan atau informasi yang diinginkan serta diperlukan untuk memperjelas data atau permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dari Guru mata pelajaran yang di UN-kan dan staff tata usaha. Data sekunder tersebut berupa informasi mengenai nilai ulangan harian siswa dalam mata pelajaran yang di UN-kan, data mengenai jumlah siswa, pekerjaan orang tua dan juga jurnal-jurnal penelitian dengan kajian sosiologis mengenai teori dan konsep yang menjadi acuan dalam penyusunan penelitian ini juga menjadi data sekunder dalam penelitian ini.

4. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari fenomena yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ketempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada fenomena yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, masyarakat dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori (Sugiyono, 2006:243)

Pengambilan dan pemilihan sampel yang selanjutnya disebut sebagai informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Menurut Sugiyono (2006:246), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Tujuan pemilihan secara purposive adalah untuk mendapatkan data yang valid. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan sesuai dengan topik penelitian. Peneliti memilih subjek dan objek sebagai unit analisis, karena dalam penelitian kualitatif yang ditekankan yaitu pada kualitas narasumber dan bukan pada kuantitas. Cara ini dipilih dengan tujuan agar data yang diperoleh benar-benar sampai pada titik jenuh. Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan informan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan peneliti yang dianggap dapat memberikan data. Informan tersebut terdiri dari siswa perempuan kelas XI IPS SMAN 2 Bintan. Adapun kriteria yang telah ditetapkan peneliti untuk menentukan jumlah informan tersebut adalah sebagai berikut: siswi yang memakai aksesoris terkini yang di beli dari olshop langganannya antara lain, jam, tas, jilbab, yang mempunyai geng tersendiri ketika berada di sekolah dan prestasi yang tidak mendukung dari penampilannya.

5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian, teknik pengumpulan data merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan. Namun, pada pelaksanaannya, peneliti melakukan penelitian ini dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah cara untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mengamati secara langsung atau melakukan pengamatan terbuka dan melihat dari dekat keadaan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi partisipan yang artinya peneliti juga ikut terlibat dalam aktifitas siswa. Pada penelitian ini pelaksanaan pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian dan mengamati aktifitas dari para ssiswa perempuan kelas XI IPS SMAN 2 Bintan. Peneliti mengamati ketika mereka sedang di dalam kelas mengikuti proses pembelajaran, istirahat ke kantin bersama geng-nya. Peneliti juga mengamati barang/ aksesoris yang digunakan ketika berada di sekolah.

b. Wawancara

Wawancara adalah cara memperoleh data di lapangan melalui tanya jawab secara langsung dengan responden, di mana peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara agar lebih terarah pada fokus penelitian. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara tak terstruktur, wawancara tatap muka dan secara mendalam (deepinterview). Menurut Ulber Silalahi (2010:313), disebut wawancara tak terstruktur sebab pewawancara tidak memiliki setting wawancara dengan sekuensi pertanyaan yang direncanakan yang akan ditanyakan kepada responden. Dengan kata lain, pewawancara dalam wawancara tak terstruktur secara khas hanya mempunyai satu daftar tentang topik atau isu, yang sering dinamakan interview guide. Selanjutnya Ulber Silalahi (2010:314) berpendapat bahwa “wawancara tatap muka dilakukan secara personal antara peneliti (pewawancara) dan responden (yang diwawancara)”. Kedua tipe wawancara yang dipakai peneliti dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh data yang lebih dalam (deep interview) mengenai sekolah sebagai media pencitraan diri siswa. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara tatap muka dengan narasumber yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu siswa perempuan kelas XI SMAN 2 Bintan.

c. Dokumentasi

Merupakan data pendukung dari penelitian berupa foto/gambar yang berkaitan dengan permasalahan peneliti yaitu foto siswa perempuan kelas XI SMAN 2 Bintan yang menyangkut dengan masalah penelitian.Dokumentasi sebagai salah satu teknik pengumpulan data dan informasi melalui pencarian dan penemuan bukti.

F. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian deskriptif kualitatif yaitu menganalisa data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk kualitatif dan diberikan penjelasan kesimpulan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan atau kalimat logis yang berkaitan dengan masalah penelitian.Analisa data kualitatif dilakukan bila data empiris yang diperoleh yaitu berupa kumpulan data-data yang telah dikumpulkan dalam berbagai macam bentuk yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Miles dan Huberman (Silalahi,2010:339) kegiatan analisa terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu :

1. Reduksi data, yaitu suatu bentuk proses analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi dari catatan data yang diperoleh dilapangan dengan cara membuat ringkasan dan menelusuri tema permasalahan serta mengorganisasikan data dengan sedemikian rupa hingga dapat tertarik kesimpulan-kesimpulan akhir dan diverifikasi.

2. Penyajian data yaitu sebagai sekumpul informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan melalui data yang disajikan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut.

3. Penarikan kesimpulan/ Verifikasi yaitu ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan mula-mula kesimpulan yang belum terlalu jelas tetapi kemudian kian meningkat menjadi lebih terperinci.

II. KONSEP TEORITIS

Di dalam teori dramaturgi, Goffman mengibaratkan kehidupan ini seperti panggung sandiwara dimana tiap individu diibaratkan sebagai aktor yang mempunyai peran masing-masing berusaha menampilkan yang terbaik agar pertunjukan tetap berjalan.

a. Dramaturgis (Erving Goffman)

Dalam (Raho, 2007 : 116) salah satu karya yang cukup penting tentang Self nampak dalam karya Goffman yang berjudul “Presentation Of Self in Everyday Life (1959)”. Konsep Goffman tentang Self sangat dipengaruhi oleh Georg Mead, khususnya dalam diskusi tentang ketegangan antara “I” (sebagai aspek diri yang spontan) dan “Me” (sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara apa yang orang lain harapkan supaya kita berbuat dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Ada perbedaan antara keinginan pribadi dan keharusan yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat.

Dalam keadaan yang demikian, maka guna mempertahankan gambaran diri yang stabil, manusia cenderung melakonkan peran-peran sebagaimana halnya seorang aktor memainkan perannya di atas panggung pertunjukkan.Karena itu Goffman cenderung melihat kehidupan sosial sebagai satu seri drama atau seri pertunjukkan di mana para aktor memainkan peran-peran tertentu.Pendekatan ini disebutnya dengan pendekatan dramaturgi.Dalam pendekatan ini, dia membandingkan kehidupan sosial sebagai sebuah pertunjukkan atau drama.Dalam pertunjukkan itu, panggung berarti lokasi atau tempat di mana kehidupan sosial itu berlangsung. Drama atau pertunjukkan adalah kehidupan sosial, sedangkan aktor adalah posisi-posisi atau status-status tertentu di dalam masyarakat.

Dalam (Raho, 2007 : 117) Goffman melihat Self bukan sebagai milik aktor atau pelaku, melainkan produk atau hasil interaksi antara aktor dan penonton. Artinya, Self mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan harapan penonton yang diperoleh aktor ketika berinteraksi dengan penonton. Oleh karena Self adalah produk atau hasil dari interaksi antara aktor dan penonton, maka ada kemungkinan bahwa interaksi selama pertunjukkan itu bisa terganggu. Goffman berasumsi bahwa, ketika individu-individu berinteraksi atau memainkan lakon-lakon dalam panggung sandiwara, maka mereka ingin supaya diri (Self) mereka diterima. Tetapi dipihak lain, ketika mereka memainkan peran-perannya, mereka tetap menyadari kemungkinan akan adanya penonton yang bisa mengganggu pertunjukkan mereka.

Oleh karena itu, para aktor harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton, terutama menyangkut elemen-elemen hal yang bisa mengganggu. Para aktor itu berharap bahwa Self yang mereka tampilkan dalam pertunjukkan itu, cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan definisi (deskripsi) tentang diri mereka (aktor-aktor) itu sesuai keinginan aktor-aktor itu sendiri.Hal itu berarti bahwa para aktor mengharapkan bahwa para penonton bisa mempunyai gambaran atau ideal positif tentang diri mereka, yakni gambaran yang sesuai dengan keinginan dan harapan aktor-aktor itu sendiri. Para aktor juga berharap bahwa gambaran atau ideal diri yang diperoleh penonton tentang mereka, akan membuat para penonton itu sendiri bisa melakukan secara sukarela apabila saja yang diinginkan oleh aktor supaya mereka perbuat, seperti bertepuk tangan atau bernyanyi bersama-sama, berjabatan tangan, dan lain-lain. Goffman membedakan dua penampilan, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) (Raho, 2007 : 118).

Bagian depan panggung (front stage) berfungsi untuk mendefinisikan situasi. Kemudian Goffman masih membedakan bagian-bagian dari front stage itu.Ada bagian yang disebut dengan setting. Setting adalah bagian-bagian yang secara fisik (alat-alat) yang harus berada di sana apabila si aktor tampil. Setting itu bagi seorang aktor yang menyanyi bisa berarti sound system, mike, piano, gitar,

Jazz, dan lain-lain.Tanpa setting itu seorang aktor tidak mungkin tampil. Demikian dalam kehidupan sosial misalnya, seseorang yang menduduki posisi tertentu harus memiliki kelengkapan tertentu untuk bisa menjalankan tugasnya, seperti ruangan operasi untuk sorang ahli bedah, taksi untuk supir taksi buku untuk mahasiswa.

Ada bagian juga yang disebut personal front (bagian depan). Personal front terdiri dari barang-barang yang membantu memberikan kesan kepada penonton, sehingga penonton dapat dengan cepat mengidentifikasikan peran yang dimainkan si aktor atau posisi sosial yang diduduki oleh seseorang dalam kehidupan sosial. Misalnya seseorang aktor memakai anting pada telinganya atau memakai pakaian yang seronok untuk pria atau mewah untuk aktris. Dalam kehidupan sosial, personal front itu misalnya adalah gaun putih atau stetoskop untuk dokter, pakaian biara untuk suster, bermain tenis dengan penampilan tertentu untuk isteri para pejabat, jas dasi untuk seorang pengusaha, safari untuk pegawai, pemerintah dan lain-lain. Artinya, dengan mengunakan atribut-atribut itu, orang langsung mengidentifikasikan posisi yang mereka pegang di dalam masyarakat.

Lebih lanjut Goffman membagi personal front itu atas dua bagian lagi, yakni appearance (penampilan) dan manner (gaya). Appearance melingkupi atribut-atribut yang bisa menunjukkan kepada orang lain status sosial yang mereka miliki. Contohnya sudah disebutkan diatas, misalnya stetoskop untuk seorang dokter atau pakaian putih atau topi untuk perawat. Sedangkan manner menunjukkan model atau gaya peran yang akan dimainkan oleh si performer atau pelakon itu dalam situasi aktual tersebut. Appearance dan manner ini harus konsisten.Misalnya, seorang aktor yang menyanyikan opera tidak boleh mengenakan baju compang-camping seperti seorang aktor yang menyanyikan lagu rock atau jazz.Demikianpun dalam kehidupan sosial, masing-masing status harus berperan sesua dengan harapan-harapan masyarakat dari statusnya itu.

Artinya, Goffman mengatakan bahwa oleh karena orang pada umumnya berusaha menampilakan suatu Self atau diri yang diidealkan dalam front stage, maka mau tidak mau mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukan itu.Pertama, aktor misalnya menyembunyikan hal-hal yang bersifat negatif seperti minum mabuk atau kecanduan obat bius karena hal-hal itu tidak kompatibel dengan pertunjukkan yang sedang dijalankan. Demikian seorang dokter harus menyembunyikan hal-hal negatif dalam kehidupannya yang berlawanan dengan profesinya sebagai dokter ketika ia menjalankan tugas sebagai dokter. Kedua, aktor juga ingin menyembunyikank kekeliruan-kekeliruan yang terjadi selama latihan menjelang pertunjukkan dan juga langkah-langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kekeliruan itu. Misalnya, seorang supir taksi tidak menunjukkan kepada penumpangnya bahwa ia telah mengambil jalur yang salah. Seorang dokter dalam proses perawatan tidak akan mengatakan kepada pasien bahwa ia telah melakukan diagnose yang salah.

Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hanya hasil dari usahanya dan tidak menunjukkan usaha yang dilakukan untuk mencapai hasil itu.Misalnya seorang professor menghabiskan berjam-jam menyiapkan bahan kuliah, tetapi dia mungkin ingin berbuat seolah-olah dia sudah selalu mengusai bahan itu. Demikian juga dengan seorang aktris yang tampil di Tv tidak akan menunjukkan bahwa untuk tampil satu kali di televisi dia harus menghabiskan waktu puluhan jam dalam latihan dan shooting. Keempat mungkin juga si aktor merasa perlu untuk menyembunyikan dari hadapan penonton bahwa ia menggunakan cara-cara yang kotor dalam melakukan usahanya hingga mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Pekerjaan kotor itu bisa berarti cara-cara yang tidak legal, melawan hokum, kejam, paksaan, dan lain-lain. Misalnya seorang aktor harus minum obat terlarang supaya tetap mempunyai gaya hidup yang terkesan mewah. Dalam kehidupan sosial misalnya, seorang individu harus menyogok atasannya supaya bisa menduduki jabatan tertentu. Atau seorang mahasiswa menyontek supaya lulus ujian.

Kelima, di dalam melakukan pertunjukkan si aktor bisa saja mengesampingkan standart-standart lain. Penjelasan hampir sama dengan bagian yang terdahulu. Dalam menyontek misalnya, seorang mahasiswa mengabaikan nilai-nilai lain, seperti kejujuran, kerja keras, tanggung jawab dan lain-lain.Keenam, aktor mungkin saja merasa perlu untuk menyembunyikan perasaan sakit hati, direndahkan dan lain-lain sehingga pementasan bisa berjalan terus.Artinya, sekalipun ada kritik, kekecewaan, perasaan tidak puas, kehidupan tetap terus berjalan.Pada umumnya aktor menyembunyikan hal-hal ini dari penonton karena mereka mempunyai kepentingan di dalamnya.

Salah satu aspek dari dramaturgi atau pertunjukkan panggung, khususnya dalam fornt stage ialah bahwa si aktor atau aktris sering kali mencoba untuk memberikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan penonton dari pada kenyataan yang sebenarnya. Misalnya si aktor mungkin coba untuk memperkuat kesan bahwa pementasan yang sedang berlangsung adalah satu-satunya pementasan yang mereka lakukan atau pementasan yang paling penting dalam kehidupan mereka.guna menimbulkan kesan ini, maka harus dibuat sedemikian rupa sehingga ada pemisahan antara dia dan penonton agar jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam pementasan, penonton tidak bakal mengetahuinya. Kalaupun penonton menemukan kekeliruan, mereka mengharapkan bahwa hal itu tidak bakal mengubah citra mereka di mata penonton.

Aktor-aktor berusaha untuk meyakinkan semua yang terlibat dalam pertunjukkan (interaksi sosial, situasi sosal) itu patuh kepada aturan bersama.Dalam beberapa kasus, hal kecil yang menyimpang dari hal-hal yang telah ditetapkan bisa mengganggu pertunjukkan atau interaksi sosial. Namun demikian, besar kecilnya gangguan itu sangat bergantung kepada jenis status dan kegiatan yang dijalankan. Kesalahan kecil di dalam upacara-upacara keagamaan akan mengaganggu keseluruhan upacara. Sedangkan kesalahan-kesalah kecil dalam sebuah acara secular tidak terlalu banyak mengganggu.Apabila seorang supir taksi keliru mengambil salah jalan, maka hal itu tentu tidak mengganggu keseluruhan performance dari supir itu dibandingkan dengan orang yang membuat salah pada waktu apel bendera.

Salah satu teknik yang digunakan oleh aktor dalam melakukan pertunjukkan ialah mystification.Si aktor atau aktris kadang-kadang memistikkan penampilan mereka dengan membatasi kontak mereka dengan penonton.Dengan menciptakan jarak sosial antara mereka dengan penonton, mereka ingin menciptakan kekaguman di dalam diri penonton. Sekali lagi Goffman menunjukkan bahwa penonton juga terlibat dalam proses mistifikasi ini dan sering kali mereka sendiri berusaha mempertahankan kredibilitas pertunjukkan itu menjaga jarak antara dirinya dengan si aktor. Berdasarkan urai tersebut, dapat dilihat bahwa focus uraian Goffman bukan pada individu tetapi pada team, yang terdiri dari individu-indivudu yang bekerja sama di atas panggung. Setiap anggota di dalam team saling mempercayai satu sama lain karena setiap orang bisa mengganggu jalannya pertunjukkan dan semua orang sadar bahwa mereka semua sama-sama bekerja untuk mensukseskan pertunjukkan itu. Karena itu, Goffman manyimpulkan bahwa team itu adalah semacam suatu masyarakat rahasia atau secret society.

Selain front stage, Goffman juga mendiskusikan tentang back stage (bagian belakang panggung), di mana bermacam-macam tindakkan atau tingkah laku non-formal, boleh muncul. Bagian belakang panggung biasanya tertutup atau terpisah dari bagian depan panggung atau tidak bisa dilihat dari bagian depan panggung. Para pembawa acara atau aktor mengharapkan dan selalu mengusahakan supaya para penonton tidak boleh muncul pada bagian belakang panggung. Pertunjukan menjadi cukup sulit apabila mereka tidak berhasil mencegah penonton memasuki back stage. Dalam kehidupan sosial, back stage ini adalah tempat atau situasi dimana seorang individu tidak perlu bertingkah laku sesuai dengan harapan-harapan orang dari statusnya itu.Misalnya, didalam keluarga seseorang tentara tidak harus menunjukkan muka suram. Atau waktu rekreasi, seseorang imam tidak harus selalu sopan dan jalan dengan kepala miring. Di sana ia bisa tertawa, dan berbuat lucu. Jadi, back stage adalah dunia yang sedikit bersifat pribadi di mana orang-orang lain tidak perlu menyaksikan aktivitas pribadinya (Raho, 2007 : 123).

b. Definisi Pencitraan Diri

Citra adalah sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial (Piliang dalam Murdaningsih, 2008). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia citradiartikan sebagai gambaran, kesan yang dimiliki seseorang terhadap pribadi.Dalam kaitannya secara lebih spesifik citra tidak dapat dilepaskan dari keberadaan objek atau benda. Diri merupakan refleksi dari citraan-citraan yang ditawarkan oleh media massa dan komoditi. Blumer mendefinisikan diri dalam pengertian yang sederhana, yaitu “apa saja yang diketahui orang lain.Itu berarti hanya manusia yang dapat menjadikan tindakkannya sendiri sebagai objek. Ia bertindak terhadap dirinya dalam tindakkannya terhadap orang lain atas dasar pemikirannya dia menjadi objek bagi dirinya sendiri” (Murdaningsih, 2008).

Pada dasarnya seseorang membangun sebuah citra dirinya dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian ataupun penghargaan dari orang lain untuk itu seseorang memperbanyak simbol-simbol pada dirinya. Simbol-simbol tersebut bisa berupa produk-produk modernitas.Dari konsumsi dan menggunakan produk-produk modernitas, citra seseorang dapat terbentuk. Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Urusan penampilan atau presentasi diri ini dalam ungkapan Chaney, penampakan luar menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Permukaan luar lebih penting daripada subtansi.Gaya menggantikan subtansi. Kulit akan mengalahkan isi. Ketika gaya menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka pemburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan konsumsi (Idi Subandi, 2011: 15). Jadi pencitraan diri merupakan cara seseorang membentuk kesan dan gambaran mengenai dirinya dari orang lain berdasarkan objek atau benda yang ia gunakan untuk penampilannya.

IV. ANALISA DATA

A. Karakteristik Informan

Karakteristik informan merupakan profil sumber data yang diharapkan dapat menggambarkan pemahaman terhadap data dari penelitian, sehingga dapat diletakkan pertimbangan-pertimbangan yang logis dan proporsional atas hasil penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah siswi kelas XI SMAN 2 Kabupaten Bintan. Untuk lebih mudah mendeskripsikan karakteristik dari informan berdasarkan kelas, umur, tempat tinggal & pekerjaan orang tua, maka dapat dilihat : 1. Aprilia kelas XI umur 17 tahun tempat tinggal di kawal tengah pekerjaan orangtua pedagang. 2. Rian kelas XI umur 16 tahun tempat tinggal desa malang rapat pekerjaan orang tua nelayan. 3. Devi kelas XI umur 17 tahun tempat tinggal desa malang rapat pekerjaan orangtua buruh. 4. Anita kelas XI umur 17 tempat tinggal kawal tengah pekerjaan orang tua nelayan. 5. Rhea kelas XI umur 17 tahun tempat tinggal di toapaya pekerjaan orangtua wiraswasta.

Berdasarkan data informan diketahui bahwa informan berada pada tingkat pendidikan SMA kelas XI dimana pada tingkatan ini informan berada dalam masa-masa puber ingin meniru tokoh yang diidolakannya. Pada jenjang umur juga terlihat bahwa informan berada pada usia16-17 tahun dimana pada usia tersebut mengindikasikan bahwa masa pelajar di usia tersebut adalah usia pubertas yang belum stabil, hal ini mengakibatkan rasa ingin meniru lebih tinggi. Pada usia tersebut merupakan usia peralihan dari remaja ke dewasa, sehingga banyak para siswi dalam usia tersebut terkadang salah membentuk dirinya agar keberadaannya diakui oleh teman sebayanya.

Informan pada umumnya berdomisi di Kawal Tengah, Desa Malang Rapat dan Toapaya. Dari pekerjaan orang tua informan mengindikasikan bahwa pencitraan diri siswi tidak dibatasi oleh pekerjaan orang tua, maksudnya walaupun orang tua informan berpenghasilan pas-pasan tidak menghalangi mereka untuk berpenampilan atau meniru sosok yang mereka idolakan atau yang menjadi panutan.

B. Analisis Data Sekolah Sebagai Media Pencitraan Diri Siswi Kabupaten Bintan

Sekolah umumnya digunakan sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan kemampuan, serta menjadi tempat berinteraksi dan bersosialiasasi dengan teman sebaya.

1. Front stage

Bagian depan panggung (front stage) berfungsi untuk mendefenisikan situasi. Dalam penelitian ini sekolah sebagai panggung depan para siswa untuk menampilkan dirinya (pencitraan diri). Di dalam front stage terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Self

Konsep Goffman tentang Self sangat dipengaruhi oleh Georg Mead, khususnya dalam diskusi tentang ketegangan antara “I” (sebagai aspek diri yang spontan) dan “Me” (sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara apa yang orang lain harapkan supaya kita berbuat dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Ada perbedaan antara keinginan pribadi dan keharusan yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat.

Dalam keadaan yang demikian, maka guna mempertahankan gambaran diri yang stabil, manusia cenderung melakonkan peran-peran sebagaimana halnya seorang aktor atau aktris memainkan perannya di atas panggung pertunjukkan (Raho, 2007 : 116). Untuk memperkuat data penulis mewawancarai semua informan dengan permasalahan diatas.

Dari hasil wawancara dapat ditarik suatu garis besar dimana berpenampilan mencolok dan tidak biasa dianggap penting dimana setiap orang berusaha berpenampilan lain dari pada yang lain hanya untuk diakui keberadaannya. Adapun keperluan untuk berpenampilan mencolok guna menarik lawan jenis dan dikenal oleh banyak teman sehingga menjadi indentitas bagi dirinya. Hal yang ditiru utamanya gaya berpakaian yang ditampilkan dalam sinetron kemudian gaya berbicara dan gerak tubuh, bahasa serta aksesoris yang digunakan. Dunia remaja yang identik dengan gaul dan fun membuat mereka merasa berpenampilan mencolok dan lain dari yang biasa baik untuk mencari teman sebanyak-banyaknya dan untuk mencari pacar. Mencari kesenangan dan rasa ingin dihargai orang lain menjadi alasan kepentingan informan dalam hal ini pelajar untuk berpenampilan mencolok. Dari penampilan kelima informan tersebut di sekolah teman-teman mereka menanggapinya dengan positif namun tak jarang yang menanggapi dengan negatif. Hal yang kelima informan ini lakukan merupakan tindakan sosial yang terorganisasi. Dimana hal tersebut mereka lakukan secara sadar yang berasal dari dalam dirinya. Tindakan tersebut dipengaruhi oleh imitasi oleh tingkat jangkauan indra berupa apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya (Setiadi, Elly M dan Usman Kolip, 2011:67)

Hal tersebut membuktikan asumsi Goffman bahwa, ketika individu-individu berinteraksi atau memainkan lakon-lakon dalam panggung sandiwara, maka mereka ingin supaya diri (Self) mereka diterima (Raho, 2007 : 117).

b. Setting

Dalam penelitian ini ruang lingkup sekolah seperti kelas, kantin, dan halaman sekolah sebagai situasi dimana siswi melakoni perannya.

Tabel 12

Hasil Observasi Setting

|No. |Ruang Lingkup |Keterangan |

| |Sekolah | |

|1. |Di Kantin |Ketika jam istirahat para|

| | |siswi jajan atau makan di|

| | |kantin |

|2. |Di Kelas |Ketika ada guru di jam |

| | |mata pelajaran, mereka |

| | |mengikuti pelajaran. |

| | |Ketika tidak ada guru |

| | |atau jam kosong atau jam |

| | |istirahat ke dua mereka |

| | |bermain, bercanda, |

| | |bergosip bahkan tidur |

|3. |Di Halaman |Mereka mulai tebar |

| |Sekolah |pesona, menonjolkan sosok|

| | |dirinya (yang merasa |

| | |serba oke dibanding |

| | |teman-teman lainnya) agar|

| | |teman-temannya (penonton)|

| | |mengaguminya |

Sumber Data Olahan Tahun 2015

Tabel 13

|No. |Hasil |Ya/Tidak |Alasan |

| |Observasi | | |

|1. |Meniru gaya |Ya |Agar terlihat |

| |artis sinetron| |cantik dan |

| | | |menarik serta |

| | | |kekinian sehingga|

| | | |dikagumi |

| | | |teman-teman dan |

| | | |lawan jenis |

|2. |Taat dalam |Tidak |Jika mengikuti |

| |peraturan | |peraturan sekolah|

| |berseragam di | |maka terlihat |

| |sekolah | |cupu dan tidak |

| | | |kekinian (kurang |

| | | |update) |

|3. |Menutupi |Ya |Untuk menjaga |

| |kehidupan/ | |kekaguman |

| |kegiatan di | |teman-teman akan |

| |luar sekolah | |penampilannya |

| | | |sehingga tetap |

| | | |terlihat eksis |

|4. |Orang tua |Tidak |Saat di rumah |

| |mengetahui | |mereka |

| |lakon/ | |berpenampilan dan|

| |penampilan | |bersikap seperti |

| |yang | |biasa saja, |

| |ditampilkan di| |kebalikan dari |

| |sekolah | |sikap dan |

| | | |penampilannya |

| | | |ketika berada di |

| | | |sekolah |

Sumber Data Olahan Tahun 2015

c. Front Personal

Pada penelitian ini ialah barang aksesoris yang digunakan serta yang dibeli di online shop langganannya. Front personal terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Penampilan, berbagai jenis barang yang mengenalkan kita mengenai status sosial informan seperti seragam sekolah, tas sepatu, jilbab, aksesoris yang digunakan ketika berada di sekolah. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada informan rata-rata mereka memiliki kesamaan alasan mereka berdandan ke sekolah dengan aksesoris agar terlihat cantik & menarik. Bahkan dari salah seorang informan menyatakan bahwa apa yang digunakan oleh temannya harus ia miliki juga, seperti apa yang dikatakan Aprilia dalam petikan wawancara berikut :

“...motonya tu gini orang punya kita harus punya jadi ya gitu harus ngikutin zaman kalau enggak ngikutin zaman bakal ketinggalan....” (Wawancara tanggal 25 Mei 2015)

Dari pernyataan Aprilia diatas diketahui bahwa setiap teman-temannya yang memiliki barang-barang atau aksesoris terbaru ia harus berusah untuk memilikinya juga karen menurutnya hal tersebut merupakan cara untuk terlihat menarik di mata teman-temannya. Dengan terus berusaha memiliki barang-barang atau aksesoris terbaru ia merasa mengikuti perkembangan zaman yang ada. Apabila ia tidak dapat memiliki barang-barang atau akesoris terbaru ia merasa tertinggal sehingga tidak menarik dikalangan teman sebayanya.

Dari hasil wawancara dapat dilihat kesamaan alasan informan berdandan kesekolah mengunakan aksesoris yaitu agar terlihat cantik, keren, & menarik dimata teman-temannya. Dengan demikian informan menjadi pusat perhatian dikalangan teman-teman sebayanya. Pada umumnya aksesoris yang dikenakan informan dibeli secara online dan ada juga yang dibeli langsung di toko. Selain itu para informan mulai melakukan tindakan sosial identifikasi dengan menggunakan krim pemutih agar kulit mereka terlihat sama dengan tokoh idolanya. Identifikasi yang mereka lakukan ini sifatnya lebih mendalam dari imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas proses ini (Soekanto, 2013 : 57).

Dengan penampilan yang mereka tampilkan terdapat komentar yang negatif seperti menggunjing dan iri dengan apa yang mereka kenakan. Para informan juga tidak segan untuk melanggar peraturan sekolah demi berpenampilan menarik menurut mereka. Seperti yang dikatakan oleh Aprilia berikut ini “...kalau ngikutin peraturan sekolah kita enggak bakalan bisa modis, jilbab aja kalau salah bisa masuk BK ditulis namanya bisa kena hukum tapi saya tetap aja pakai jilbab warna lain kak biru dongker, coklat terus abu-abu biar maching sama roknya kak, jadi enggak ngikutin kali peraturan sekolah misalnya sepatu atau kaos kaki bisa warna lain, kadang-kadang aja sih enggak terlalu sering....” (Wawancara tanggal 25 Mei 2015)

Pernyataan Aprilia diatas menegaskan bahwa apabila mengikuti peraturan sekolah mereka tidak akan bisa tampil modis. Kerena sedikit kesalahan saja seperti kesalahan dalam menggunakan jilbab mereka bisa dihukum. Namun hal ini tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap tampil bergaya ke sekolah seperti menggunakan sepatu, kaos kaki dan jilbab yang berwarna selain yang diperbolehkan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memperdulikan norma atau peraturan yang ada serta yang terpenting bagi mereka adalah penampilan. Ketika gaya menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka pemburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan konsumsi (Idi subandi, 2011 : 15).

2. Gaya, mengenalkan pada penonton peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu. Dalam penelitian ini gaya yang diperankan oleh aktor dalam pertunjukan yang sedang berlangsung di sekolah. Dari hasil wawancara yang didapat bahwa meskipun di sekolah terdapat peraturan tentang tata cara berseragam para siswi tidak segan untuk melanggarnya. Mereka menganggap bahwa melanggar peraturan tersebut sudah lumrah karena tidak sesuai dengan keinginan mereka. Tujuan utama para siswi berseragam junkis tak lain untuk terlihat cantik sehingga menarik perhatian teman lainnya agar keberadaanya diakui. Pada jam istirahat mereka berusaha untuk terlihat eksis di sekolah dengan berkeliling di sekolah.

Pada umumnya para siswi berwatak baik hingga sombong bertujuan untuk menarik perhatian teman-teman agar keberadaannya diterima oleh teman-temannya. Serta agar teman-teman mau berteman dengannya.

d. Mystification, dalam penelitian ini ialah siswi terkadang memistikkan penampilannya dengan membatasi kontak, menjaga jarak dengan teman-temannya demi menjaga kekaguman pada dirinya sebagai aktor.

Dari hasil wawancara mengenai mistifikasi dapat ditarik garis besar umunya para siswi masing-masing menyembunyikan antara penampilan di sekolah dengan penampilan asli di rumah. Dimana para siswi di sekolah berusaha untuk tampil maksimal dalam penampilan dan berusaha untuk terus bergaya mengikuti tren yang ada dengan benda/ aksesoris yang mereka pakai gonta-ganti ke sekolah. Bahkan mereka rela bekerja di luar jam sekolah yang bertujuan untuk memenuhi keinginan berpenampilan menarik di sekolah. Hal tersebut mereka lakukan semata-mata untuk menjaga kekaguman teman-temannya di sekolah. Sama seperti yang dikatakan Goffman bahwa si aktor kadang-kadang memistikkan penampilan mereka dengan membatsi kontak mereka dengan penonton. Dengan menciptakan jarak sosial antara mereka dengan penonton, mereka ingin menciptakan kekaguman di dalam diri penonton (Raho, 2007 : 22).

Peneliti juga menggali tentang tim yang membantu keberhasilan pertunjukan informan ketika diatas panggung dalam melakukan pencitraan diri. Setiap anggota dalam tim saling mempercayai satu sama lain karena setiap orang bisa mengganggu jalannya pertunjukan dan semua orang sadar bahwa mereka semua sama-sama bekerja untuk mensukseskan pertunjukan itu. Sehingga Goffman menyimpulkan bahwa tim adalah semacam suatu masyarakat rahasia atau secret society (Raho, 2007:122). Tim disini merupakan teman dan orangtua beberapa informan yang mengetahui mengenai informan. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa masing-masing informan ada yang mengetahui dan ada yang tidak mengetahui. Berikut petikan wawancara dengan informan Delia:

“...ada yang tau ada yang gak kak. Yang kami tau tu si Devi kak bapaknya sebenarnya tukang sapu jalanan tapi bilangnya kerja di resort. Terus si Rhea tu kak bilangnya bapaknya di Jakarta gak taunya bapaknya TKI, itu aja sih kak. Saya sih diam aja kak soalnya dia juga gak ganggu saya makanya cukup tau aja jadi biarin aja kak, gitu lah cara saya ngebantu nutupin tentang dia kalo di sekolah....” (Wawancara Tanggal 23 Februari 2016)

Selanjutnya hasil wawancara dari informan Anggi:

“...gak semua sih saya tau, cuma si Devi , Aprilia sama Rian aja, Devi tu kak bapaknya tukang sapu jalanan yang saya tau. Terus juga dia sebenarnya gak tinggal sama orang tua kandungnya, orang tua kandungnya pisah, dia tinggal sama budenya di Malang Rapat. Kalo Aprilia bapaknya jualan sarapan soalnya kami suka beli lontong bapaknya enak kak kalo pagi-pagi. Rian kami taunya dia tukang gosok baju orang karena ada yang pernah cerita kalo Rian pernah terima upah gosok, tapi gayanya di sekolah bukan main. Gaya orang betiga ni emang begaya betul kak tak sepadan. Selagi dia tak cerita kan kami, kami tak ceritakan dia. Kami pun sering juga main sama dia. Ya saling cukup tau aja lah kak, istilahnya tu gini kak kalau kita bantu nutupin aib orang, aib kita sendiri tu tak akan orang cerita juga, sebab menceritakan aib orang itu sama seperti makan bangkai sodara sendiri gtu kak....”(Wawancara Tanggal 23 Februari 2016)

Dari pemaparan wawancara diatas diketahui bahwa ada yang mengetahui dan tidak mengetahui latar belakang dari informan utama. Selain itu mereka saling menutupi dan sama-sama bekerja sama untuk mensukseskan pertunjukan ketika berada diatas panggung (sekolah).

Berikut hasil wawancara dari orangtua informan Rian:

“...saye tau betol nak, eeeehm biase lah budak-budak tem (time) die memang kalo kat sekolah asek nak begaye aje. Bantu lah nak sebab die anak saye baek buruk die tetap juge anak saye sendiri. Bia lah (biarlah) kalau anak saye diomongkan orang tentang gaye die, yang penting saye tak pernah cakapkan anak orang. Kalo dibilang bela, bela juga. Misalkan die suruh “Mak jangan bilang-bilang e mak kalo kami upah cuci gosok baju orang sama kengkawan” ha tu ibuk tak cakap lah, takut pula die malu, kan. Ibuk ikut aje ape kate anak ibuk....”(Wawancara Tanggal 23 Februari 2016)

Kemudian hasil wawancara dengan orangtua informan Rhea:

“...saya tau-tau gitulah, tak tau-tau sangat. Wajar sih dek, kan lagi puber ini. Namanya juga sayang anak jadi biar anak saya terlihat bagus ya saya dukung aja apa maunya. Apa pun yang Rhea mau pasti saya kasi tapi ya harus ada timbal balik, misalnya dia minta jam baru ato tas saya suruh dia jaga adeknya dulu atau suruh selesaikan pekerjaan rumah kaya nyuci, ngepel, gosok gitu dek. Kalo teman-temannya main di rumah saya tak suruh dia kerja dan saya pun kalo bilang sama orang pakai pembantu padahal si Rhea yang bantu saya di rumah....”(Wawancara Tanggal 23 Februari 2016)

Dari paparan wawancara diatas diketahui bahwa orangtua dari kedua informan juga membantu mensukseskan pertunjukan informan. Bantuan dari teman dan orangtua ini dalam Goffman disebut dengan team.

2. Back Stage

Merupakan bagian belakang pertujukan dimana dalam penelitian ini bagian belakang yang berada di luar sekolah yang sebagai panggung pertunjukan. Dalam arti lain tempat atau situasi dimana seorang individu tidak perlu bertingkah laku sesuai dengan harapan-harapan orang dari statusnya, dunia yang sedikit bersifat pribadi dimana orang lain tidak perlu menyaksikan aktivitas pribadinya.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan para informan mengenai belakang panggung didapati bahwa para siswi ini rata-rata memiliki kegiatan diluar sekolah yang bertujuan untuk memenuhi keinginan mereka dalam pencitraan diri berupa aksesoris yang dapat menunjang penampilan mereka di sekolah. Pada umumnya mereka bekerja di luar jam sekolah. Dari hasil kerja ini upah yang mereka terima digunakan untuk membeli barang-barang atau aksesoris yang mereka inginkan agar terlihat kekinian dimata teman-temannya.

Untuk menjaga pencitraan diri mereka agar tetap sempurna para siswi tersebut berusaha menutupi kegiatan sehari-hari mereka diluar sekolah. Mereka pun tidak segan untuk berbohong kepada orang tua demi memenuhi keinginan mereka akan aksesoris penunjang penampilan. Bahkan mereka merasa hal tersebut sudah lumrah dilakukan. Uang saku yang mereka peroleh berkisar antara Rp. 10.000 – Rp. 20.000. Orang tua dari para siswi tersebut umumnya tidak mengetahui perilaku anaknya di sekolah yang berpenampilan berlebihan guna pencitraan diri mereka.

Tindakan yang mereka lakukan ini termasuk dalam mobilitas sosial. Mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dah horizontal. Tindakan yang mereka lakukan ini termasuk kedalam mobilitas sosial vertikal yaitu perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial lebih tinggi (Narwoko, J, Dwi & Bagong Suyanto, 2010:208). Kelima informan berusaha untuk berada pada status sosial atas dimana para informan mati-matian berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan akan aksesoris terkini dengan bekerja bahkan dengan cara membohongi orang tuanya. Dalam pandangan mereka teman yang menggunakan aksesoris terkini dan gonta-ganti memiliki status sosial ekonomi atas.

3. Pencitraan Diri

Pencitraan diri merupakan cara seseorang membentuk kesan dan gambaran mengenai dirinya dari orang lain berdasarkan objek atau benda yang ia gunakan. Dalam penelitian ini pencitraan diri adalah cara siswi membentuk kesan gambaran mengenai dirinya dengan orang lain berdasarkan benda yang mereka gunakan ketika berada di sekolah untuk menampilkan dirinya.

Mengenai pencitraan diri, diketahui bahwa para siswi tidak memiliki prestasi di sekolah. Untuk memperlihatkan penampilan diri mereka di sekolah para siswi ini mengenakan aksesoris yang bergonta-ganti seperti jam tangan, tas, bando, dan sepatu. Hal ini mereka lakukan bertujuan untuk mendapat pujian dari teman-teman atau pun lawan jenis, mencari sensasi agar dikagumi serta menjadi perhatian, hingga menjaga gengsi agar tidak kalah penampilannya dengan teman-teman yang lainnya. Dengan demikian pencitraan diri disini adalah cara aktor atau sesorang untuk membentuk kesan dan gambaran pribadi dari aksesoris yang ia gunakan disekolah. Untuk tetap populer dikalangan teman-temannya meskipun mereka tidak memiliki prestasi jalan yang ditempuh adalah dengan memperbanyak simbol berupa atribut-atribut dalam dirinya dalam bentuk aksesoris.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dengan judul “Sekolah sebagai Media Pencitraan Diri Siswi di Kabupaten Bintan”, maka diperoleh kesimpulan bahwa sekolah terbukti menjadi media pencitraan diri bagi para siswi di SMAN 2 Kabupaten Bintan. Hal tersebut didukung oleh penemuan dari hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan berdasarkan teori Darmaturgi yaitu front stage dan back stage dari diri siswi tersebut. Dari front stage, pencitraan diri siswi ini dilihat dari panggung depan siswi dalam menampilkan dirinya. Pada konsep ini panggung depan siswi dapat terlihat dari berbagai sisi. Yang pertama self, pada konsep ini siswi mulai melakukan tindakan imitasi untuk meniru artis sinetron yang di idolakannya. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan agar keberadaannya diakui oleh teman-temannya. Selanjutnya setting lokasi dimana para siswi melakuan tindakan pencitraan diri yang dilakukan dalam ruang lingkup sekolah seperti kelas, kantin dan halaman sekolah.

Kemudian front personal terdiri dari barang-barang yang membantu memberikan kesan kepada penonton, sehingga penonton dapat dengan cepat mengidentifikasikan peran yang dimainkan aktor dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini peneliti menemukan bahwa para siswi menggunakan aksesoris terkini yang mereka dapatkan baik secara online atau langsung membelinya di toko. Selain itu para informan mulai melakukan tindakan sosial identifikasi dengan menggunakan krim pemutih agar kulit mereka terlihat sama dengan tokoh idolanya. Dalam hal berseragam siswi juga meniru gaya artis sinetron yang bertentangan dengan aturan sekolah, namun hal ini tidak menyurutkan niat siswi tersebut untuk tetap meniru walaupun sudah mengetahui konsekuensi dari pelanggaran tersebut. Dan pada kenyataan ada peraturan yang sudah baik namun dalam pelaksanaannya longgar hal ini dikarenakan adanya kejenuhan para pendidik untuk menegur dan memberi sanksi kepada siswa yang melanggar aturan. Gaya berperan dari para siswi cenderung baik hingga sombong bertujuan untuk menarik perhatian teman-teman agar keberadaannya diterima oleh teman-temannya. Selanjutnya mystification, dalam penelitian ini siswi memistikkan penampilannya di sekolah dengan penampilan asli di rumah dengan membatasi kontak, menjaga jarak dengan teman-temannya demi menjaga kekaguman pada dirinya sebagai aktor. Seperti menyembunyikan pekerjaan orang tua dan kegiatan mereka diluar sekolah.

Pada bagian back stage mengupas kehidupan belakang panggung para siswi yang berada di luar sekolah, siswi tidak perlu bertingkah laku sesuai dengan harapan-harapan orang dari penontonnya, dibagian ini siswi menjadi dirinya sendiri. Dunia yang bersifat pribadi dimana orang lain tidak perlu menyaksikan aktivitas pribadinya. Pada bagian ini siswi berusaha berjuang mati-matian untuk mempersiapkan front stage. Para siswi rela untuk bekerja di luar jam sekolah demi memperoleh uang yang digunakan untuk membeli aksesoris penunjang penampilan. Selain itu pada saat di sekolah mereka berusaha untuk tampil maksimal dalam penampilan dan berusaha untuk terus bergaya mengikuti tren yang ada dengan benda/ aksesoris yang mereka pakai gonta-ganti ke sekolah. Dalam masyarakat seperti tetangga tidak mengetahui adanya pencitraan diri yang dilakukan para siswi tersebut di sekolah, karena ketika di rumah mereka berpenampilan apa adanya. Dari pemaparan diatas jelas tergambar para siswi tersebut melakukan pencitraan diri, dimana sekolah sebagai panggung tempat bermain peran dengan membentuk kesan dan gambaran pribadi dari aksesoris, gerak-gerik, serta penampilan yang ia gunakan disekolah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka ada beberapa saran yang bisa peneliti sampaikan. Pada penelitian mengenai sekolah sebagai media pencitraan diri siswi di Kabupaten Bintan terdapat berbagai hal yang dapat kita ketahui baik yang bersifat positif maupun negatif. Sebagai seorang siswa harus memiliki pertahanan dalam diri sendiri mengenai apa yang baik dan tidak baik, dalam kata lain dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk ditiru. Selain itu tanamkan dalam diri rasa kepercayaan diri dan disiplin baik di rumah maupun di sekolah sehingga tidak kehilangan jati diri.

Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengungkapkan pencitraan diri yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak hanya terjadi di sekolah saja. Selain itu diharapkan dapat mengungkapkan lebih dalam ataupun alasan lain sehingga seseorang melakukan pencitraan diri. Penelitian selanjutnya juga bisa menggunakan teori-teori dari kajian sosiologis lainnya contohnya seperti teori gaya hidup yang dikemukakan oleh David Chaney sebagai bahan acuan perbandingan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdullah Idi, Haji, 2011, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Amin, Maswardi Muhammad, 2011, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, Jakarta: Baduose Media

Bungin, Burhan, 2010, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana

Fajar, Sirot, 2013, Psikologi Pemuda, Yogyakarta: Mitra Pustaka Nurani

Ibrahim, Idi Subandi, 2011, Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra

--------------, 2011, Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif David Chaney, Yogyakarta: Jalasutra

Jenks, Chris, 2013, Culture Studi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustika Pelajar

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1,Jakarta: PT. Gramedia

Martono, Nanang, 2012, Sosiologi Perubahan Sosial Prespektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nandika, Dodi, 2007, Pendidikan di tengah gelombang perubahan, Jakarta: Pustaka LP3ES

Narwoko, J, Dwi dan Bagong Suyanto, 2010, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana

Nasution, 2004, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Askara

Poloma, Margaret M, 2007, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Raho, Bernard, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2010, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group

Setiadi, Elly M dan Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta: Kencana

Silalahi, Ulber, 2010, Metodelogi Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama

Strinati, Dominick, 2010, Populer culture: Pengantar menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta: AR-Ruzz Media

Suyanto, Bagong, 2013, Sosiologi Ekonomi Kapitalis dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta: Kencana

Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed), 2005, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Kencana

Suwati, 2008, Sekolah Bukan Untuk Mencari Pekerjaan, Jakarta: Pustaka Grafia

Syam, Nur, 2010, Agama Pelacur Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: PT. LKis Printing Cemerlang

Sztompka Piotr, 2008, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada

Skripsi :

Murdaningsih, Siti, Gaya Hidup Konsumtif dan Pencitraan Diri Pelajar Pengguna Handphone Di SMA N 1 Sambi Boyolali. Skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, 2008.

Liandra, Randal, Rasionaalitas Member Dalam Bisnis Multi Level Marketing (Studi Tentang Member Melia Sehat Sejahtera (MSS) di Kota Tanjungpinang). Skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMRAH, 2015.

Jurnal Ilmiah:

Saputri, Desy, 2014 Gaya Hidup Remaja Di SMA Negeri 2 Tambang Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar, Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Vol. 1 / No. 1, ISSN: 2355-6919, (, diakses 20 Maret 2015, 02.18 Wib).

-----------------------

[pic]

................
................

In order to avoid copyright disputes, this page is only a partial summary.

Google Online Preview   Download